LAPORAN
PRAKTIKUM V
ILMU PEMULIAAN TERNAK
Korelasi
Antara Indeks Telur, Bobot Telur dan Bobot Tetas Telur Ayam Kampung dan Telur
Puyuh
OLEH
NAMA
: GORISMAN MATUALESI
NIM : L1A1 13 009
KELAS : A
KELOMPOK : I ( Satu )
ASISTEN P. : MELLY
PRATIWI SETYAWATI
FAKULTAS
PETERNAKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2015
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Dalam bidang pemuliaan ternak, sasaran utamanya dalam tiga
aspek tersebut adalah mengenai bibit (breeding). Breeding merupakan salah satu
faktor pembatas dalam suatu usaha peternakan. Pemuliaan ternak dilakukan dengan
cara seleksi dan pengaturan system perkawinan pada ternak guna meningkatkan
mutu genetik ternak dan dapat menghasilkan suatu bibit ternak yang bermutu
genetik tinggi yang memiliki tingkat produktivitas yang lebih baik.
Salah
satu aspek yang penting dalam usaha penyediaan bibit adalah penetasan. Penetasan telur merupakan suatu proses
biologis yang kompleks dari siklus hidup untuk menghasilkan anak. Keberhasilan
penetasan salah satunya ditentukan oleh kualitas telur. Bobot telur merupakan
kriteria yang harus diperhatikan dalam penetasan. Bobot telur akan berpengaruh
pada boobt tetas karena selama penetasan telur mengalami pengurangan bobot yang
disebut susut bobot.
Nobel
(1995), menyatakan bahwa bobot telur dipengaruhi oleh bobot tubuh pada saat
dewasa kelamin. Bobot tubuh yang ringan pada saat dewasa kelamin akan
menghasilkan bobot telur yang kecil. Prasetyo dan Susanti (2004), menyatakan
bahwa bobot badan awal bertelur itik Mojosari lebih kecil dibandingkan itik
Tegal. Bobot badan awal bertelur ini berpengaruh terhadap bobot telur awal yang
dihasilkan. Srigandono (1997), menyatakan bahwa bobot telur itik yang
ditetaskan sebaiknya berkisar antara 65-75 g. Bobot tetas dipengaruhi oleh
bobot telur, suhu dan kelembaban mesin tetas. Ukuran telur yang digunakan untuk
penetasan sangat penting karena mempunyai korelasi yang tinggi antara ukuran
telur yang ditetaskan dengan ukuran day
old duck (dod) yang dihasilkan
(Leeson, 2000).
Pendugaan
nilai korelasi mempunyai arti penting untuk seleksi dapat dilakukan secara
lebih awal. Seleksi lebih awal akan memberikan keuntungan karena dapat menekan
biaya, tenaga dan waktu bagi peternak.
Pendugaan nilai korelasi beberapa sifat kuantitatif utama (berat badan,
berat telur dan berat DOC) dapat dijadikan sebagai dasar seleksi oleh peternak.
Ayam yang dipelihara untuk tujuan menghasilkan daging, pendugaan nilai korelasi
yang penting adalah hubungan antara berat badan pada umur lebih awal dengan
berat badan saat dipotong (Brandsch, 1981).
Untuk
itu perlu dilakukannya suatu praktikum yang mengamati tentang ukuran-ukuran
telur, dan bobot telur beserta warna dan bentuk telur, sehingga dapat
ditentukan indeks telur dan korelasinya.
1.2
Tujuan dan
Manfaat
Adapun tujuan praktikum korelasi antara indeks telur, bobot
telur, dan bobot tetas telur ayam kampung dan telur puyuh yaitu adalah mahasiswa mengetahui hubungan korelasi antara bobot
telur, bobot tetas telur, dan hubungan korelasi antara indeks bentuk telur dan
bobot tetas telur pada telur ayam kampung dan telur puyuh.
Manfaat yang dapat oleh diperoleh dari praktikum korelasi antara
indeks telur, bobot telur, dan bobot tetas telur ayam kampung dan telur puyuh yaitu
praktikan dapat mengetahui hubungan
korelasi antara bobot telur, bobot tetas telur, dan hubungan korelasi antara
indeks bentuk telur dan bobot tetas telur pada telur ayam kampung dan telur
puyuh.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Korelasi Bobot Telur Dan Bobot Tetas pada Telur Ayam Kampung
Bobot
telur ayam sesuai dengan ayamnya. Telur tidak boleh terlalu berat ataupun
terlalu kecil (daya penetasannya amat rendah). Beratnya tidak boleh kurang dari
42 gram dan tidak boleh lebih dari 70-80 gram. Keseimbangan berat telur dan
berat badan anak ayam adalah tetap adanya (Sudaryani, 1996
Kaharudin (1989)
Menyatakan bahwa, salah satu faktor yang mempengaruhi bobot tetas yaitu bobot
telur tetas. Sudaryani dan Santoso (1994) dalam Permana (2007) menyatakan,
bobot telur tetas merupakan faktor utama yang mempengaruhi bobot tetas,
selanjutnya dikatakan bobot tetas yang normal adalah dua per tiga dari bobot
telur dan apabila bobot tetas kurang dari hasil perhitungan tersebut maka
proses penetasan bias dkatakan belum berhasil.
Hadijah (1987)
menyaakan bahwa bobot telur ternyata dapat digunakan sebagai indicator bobot
tetas, dimana telur yang lebih berat akan menghasilkan DOC yang lebih berat.
Selain itu coleman (1979) berpendapat bahwa telur yang mempunyai berat lebih
besar akan menghasilkan bobot tetas yang lebih besar dibandingkan dengan telur
yang kecil, tetapi telur telur yang besar akan menetas lebih lambat.
Selanjutnya selton dan sleger menyimpulkan baha bobot telur dengan bobot tetas
mempunyai hubungan korelasi yang positif.
2.2.
Korelasi Indeks Bentuk Telur dan Bobot Tetas Telur Ayam Kampung
Ini sesuai dengan
pernyataan Asep (2000) bahwa indeks bentuk telur antara 72 – 80% menunjukkan
hasil daya tetas yang tinggi. Indeks telur yang dihasilkan juga relatif tidak
berbeda dengan indeks telur hasil perkawinan ayam buras yang dilaporkan oleh
Kurnianto et al. (2010) yaitu sebesar 76,74%. Wardiny (2002) menyatakan
bahwa bentuk telur yang bulat oval mempunyai daya tetas yang baik, sedangkan
bentuk telur yang terlalu bulat dan terlalu lonjong mempunyai daya tetas yang
rendah. . Indeks telur yang dihasilkan juga relatif tidak berbeda dengan indeks
telur hasil perkawinan ayam buras yang dilaporkan oleh Kurnianto et al.
(2010) yaitu sebesar 76,74%. Wardiny (2002) menyatakan bahwa bentuk telur yang
bulat oval mempunyai daya tetas yang baik, sedangkan bentuk telur yang terlalu
bulat dan terlalu lonjong mempunyai daya tetas yang rendah.
NALBANDOV (1990), juga melaporkan bahwa telur-telur
yang dihasilkan pada awal bertelur secara nyata jauh lebih kecil dibandingkan
dengan telur yang dihasilkan oleh ayam yang sama setelah 3 minggu masa
bertelur. Dijelaskan lebih lanjut bahwa umur sangat mempengaruhi ovulasi,
dimana ovulasi meningkat cepat dari masa sebelum dewasa ke titik yang tertinggi
dan kemudian secara lambat akan menurun kesterilitas masa tua. Rataan bobot
telur hasil penelitian masih dalam kisaran normal untuk telur ayam kampung.
yaitu 35-45 gram per butir
2.3.
Korelasi Bobot Telur Dan Bobot Tetas pada Telur Puyuh
Butcher, Gary and
Richard (2004) menyatakan bahwa selain mempengaruhi daya tetas, bobot telur
juga mempengaruhi bobot tetas, dimana bobot telur tetas tinggi akan
menghasilkan bobot tetas yang tinggi dan sebaliknya.Gillespie (1992),
menyatakan bahwa ukuran besar telur berpengaruh pada ukuran besar anak ayam
yang baru menetas, dan pengaruhnya tidak terlihat pada anak yang berumur 35
hari.
Berat telur puyuh bervariasi yakni antara 10-15
gram. Berat telur puyuh yang terberat adalah 10,8 gram pada periode pertelur 28
minggu (Nugroho, 1990). Telur yang dihasilkan oleh induk yang masih muda
biasanya lebih ringan dan ukurannya lebih kecil, dan memerlukan waktu relatif
lebih lama untuk mencapai standar berat normal dari pada induk yang lebih tua
(Sudaryani, 1996).
Hadijah (1987)
menyaakan bahwa bobot telur ternyata dapat digunakan sebagai indicator bobot
tetas, dimana telur yang lebih berat akan menghasilkan DOC yang lebih berat.
Selain itu coleman (1979) berpendapat bahwa telur yang mempunyai berat lebih
besar akan menghasilkan bobot tetas yang lebih besar dibandingkan dengan telur
yang kecil, tetapi telur telur yang besar akan menetas lebih lambat.
Selanjutnya selton dan sleger menyimpulkan baha bobot telur dengan bobot tetas
mempunyai hubungan korelasi yang positif.
2.4.
Korelasi Indeks Bentuk Telur dan Bobot Tetas Telur Puyuh
Bentuk telur yang dihasilkan oleh setiap induk akan
mempunyai bentuk yang khas, hal ini disebabkan karena bentuk telur merupakan
salah satu faktor yang diturunkan dari induk kepada anaknya. Bentuk telur
ditentukan dengan indeks bentuk telur yaitu dengan cara membagi lebar telur
dengan panjang telur dikali 100% (Suharno et al., 1994).
Bentuk telur puyuh
lebih bulat daripada telur ayam ras. Indeks bentuk telur puyuh adalah 79,2%
sedangkan indeks bentuk telur ayam ras sebesar 73,6% (Syamsir,1993).Indeks
bentuk telur yaitu perbandingan antara diameter panjang telur dibagi dengan
diameter lebar telur yang dapat dituliskan dalam bentuk persentase (Yuwanta,
2004). Indeks bentuk telur diukur antara poros sampai panjang yang terbesar
yaitu jarak antara kedua kutub telur terbesar dan garis menengah yang terkecil
pada telur itu merupakan suatu tetapan (Sastroamidjojo dan Seno, 1991).
III.
METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1.
Waktu dan Tempat
Praktikum ini
dilaksanakan pada hari Rabu, 27 Mei 2015. Bertempat di Kandang Unggas Fakultas
Peternakan Universitas Halu Oleo, Kendari.
3.2.
Alat dan Bahan
Alat
dan Bahan yang digunakan dan diamati dalam praktikum ini ditampilkan dalam
Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Alat digunakan dalam
praktikum
No.
|
Alat
|
Kegunaan
|
1.
|
Alat Tulis
|
Untuk
mencatat hasil pengamatan
|
2.
|
Mesin Tetas
|
Untuk
menetaskan telur
|
3.
4.
|
Neraca
Rak telur
|
Untuk
menimbang bobot telur dan bobot tetas
Untuk
menyimpan telur sebelum ditetaskan
|
5.
|
Hp Kamera
|
Untuk
dokumentasi
|
Bahan
yang digunakan pada praktikum ini dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Bahan dan
Kegunaan yang Digunakan pada Praktikum
No.
|
Bahan
|
Kegunaan
|
1.
|
Telur ayam kampung
|
Sebagai bahan pengamatan
|
2.
|
Telur burung puyuh
|
Sebagai bahan pengamatan
|
3.3.
Prosedur Praktikum
Prosedur
dalam Praktikum praktikum ini yaitu:
1. Menyiapkan alat dan
bahan yang digunakan dalam praktikum
2. Menimbang telur ayam
kampung dan telur burung puyuh
3. Memasukan telur ayam kampung dan
puyuh ke dalam mesin tetas
4. Menimbang DOC dan
DOQ yang telah menetas
5. Menulis hasil pengamatan
dan dokumentasi
4.
Analisis
Data
Data
yang diamati dalam praktikum ini adalah korelasi antara bobot telur dengan
bobot tetas pada telur ayam kampung dan telur burung puyuh. Adapun rumus yang
digunakan untuk menghitung korelasi antara bobot telur dan bobot tetas telur
ayam kampung dan telur puyuh adalah sebagai berikut :
Korelasi r =
Keterangan : r =
Koefisien Korelasi
∑X
= Jumlah pengamatan variabel X
∑Y = Jumlah pengamatan variabel Y
∑XY = Jumlah hasil perkalian variable x dan y
(∑X2) = Jumlah kuadrat dari pengamatan varaibel X
(∑X)2 = Jumlah kuadrat dari jumlah pengamatan variable X
(∑Y2) = Jumlah kuadrat dari pengamatan variable Y
(∑Y)2 = Jumlah kuadrat dari jumlah pengamatan variable Y
n = Jumlah pasangan pengamatan Y dan X
∑Y = Jumlah pengamatan variabel Y
∑XY = Jumlah hasil perkalian variable x dan y
(∑X2) = Jumlah kuadrat dari pengamatan varaibel X
(∑X)2 = Jumlah kuadrat dari jumlah pengamatan variable X
(∑Y2) = Jumlah kuadrat dari pengamatan variable Y
(∑Y)2 = Jumlah kuadrat dari jumlah pengamatan variable Y
n = Jumlah pasangan pengamatan Y dan X
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.1 Korelasi Bobot Telur dan Bobot Tetas
Telur Ayam Kampung
Hasil perhitungan korelasi bobot
telur dan bobot tetas telur ayam kampung disajikan pada Tabel
3.
Tabel 3. Korelasi Bobot Telur
dan Bobot Tetas Telur Ayam Kampung
x
|
y
|
r
|
Bobot Telur
|
Bobot Tetas
|
0.39
|
Berdasarkan hasil pengukuran korelasi bobot
telur dan bobot tetas telur ayam kampung pada Tabel 3,,
diperoleh korelasi antara bobot telur dan bobot tetas telur ayam kampung
diperoleh dengan nilai korelasi 0.39. Korelasi genetik adalah hubungan antara
dua sifat atau variabel yang secara statistik dapat dinyatakan secara korelasi
dan regresi. Tiap korelasi yang benar untuk populasi-populasi tertentu dapat
sangat menyimpang terutama bila ada seleksi yang kuat dan lama untuk satu sifat
atau lebih (Warwick et al., 1995).
Hal ini sesuai dengan pernyataan yang
diungkapkan oleh Setiadi (200) bahwa Jika nilai korelasi 0,9 < r < 1,0
atau -0,9 >r >1,00 maka hubungannya sangat kuat, jika 0,50 > r >
0,7 atau – 0,7 > - 0,5 maka hubungannya moderat atau signifikan seimbang.
dan jika 0,0 < r < 0,30 atau -0,3 < r < 0,0 maka hubungannya sangat
lemah.
4.1.2 Korelasi Indeks Bentuk Telur dan Bobot Tetas Telur Ayam Kampung
Hasil perhitungan indeks bentuk
telur dan bobot tetas telur ayam kampung disajikan pada Tabel
4.
Tabel 4. Korelasi Indeks
Bentuk Telur dan Bobot Tetas Telur Ayam
Kampung
x
|
y
|
r
|
Indeks Bentuk
Telur
|
Bobot Tetas
|
0.087
|
Berdasarkan hasil
pengukuran perhitungan indeks bentuk telur dan bobot tetas telur ayam kampung
pada Tabel 4,, diperoleh korelasi antara bobot telur dan bobot
tetas telur ayam kampung diperoleh dengan nilai korelasi 0.39 dan korelasi
antara indeks bentuk telur dan bobot tetas telur ayam kampung dengan nilai
korelasi 0.087 .
Hal ini sesuai dengan
pernyataan yang diungkapkan oleh Setiadi (200) bahwa Jika nilai korelasi 0,9
< r < 1,0 atau -0,9 >r >1,00 maka hubungannya sangat kuat, jika
0,50 > r > 0,7 atau – 0,7 > - 0,5 maka hubungannya moderat atau
signifikan seimbang
4.1.3. Korelasi Bobot Telur dan Bobot Tetas
Telur Puyuh
Hasil perhitungan korelasi bobot
telur dan bobot tetas telur puyuh disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Korelasi Bobot
Telur dan Bobot Tetas Telur puyuh
x
|
y
|
r
|
Bobot Telur
|
Bobot Tetas
|
0.29
|
Berdasarkan hasil
pengukuran korelasi bobot telur dan bobot tetas telur puyuh pada
Tabel 5,
diperoleh korelasi hubungan antara bobot telur dan bobot tetas telur puyuh
dengan nilai 0.29.
Hal ini sesuai dengan
pernyataan yang diungkapkan oleh Setiadi (200) bahwa Jika nilai korelasi 0,9
< r < 1,0 atau -0,9 >r >1,00 maka hubungannya sangat kuat, jika
0,50 > r > 0,7 atau – 0,7 > - 0,5 maka hubungannya moderat atau signifikan
seimbang. hubungan antara dua ubahan secara statistik dapat dinyatakan secara
korelasi. Hubungan korelatif dapat dibedakan atas korelasi fenotip, korelasi
genetik, korelasi lingkungan.
4.1.4 Korelasi Indeks Bentuk Telur dan Bobot Tetas Telur Puyuh
Hasil perhitungan indeks bentuk
telur dan bobot tetas telur puyuh disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Korelasi Indeks
Bentuk Telur dan Bobot Tetas Telur Puyuh
x
|
y
|
r
|
Indeks Bentuk
Telur
|
Bobot Tetas
|
-0.42
|
Berdasarkan hasil
pengukuran indeks bentuk telur dan bobot tetas telur puyuh pada
Tabel 6,
diperoleh korelasi antara indeks bentuk telur dan bobot tetas telur puyuh
dengan nilai -0.42.
Hal ini sesuai dengan
pernyataan yang diungkapkan oleh Setiadi (200) bahwa Jika nilai korelasi 0,9
< r < 1,0 atau -0,9 >r >1,00 maka hubungannya sangat kuat, jika
0,50 > r > 0,7 atau – 0,7 > - 0,5 maka hubungannya moderat atau
signifikan seimbang. dan jika 0,0 < r < 0,30 atau -0,3 < r < 0,0
maka hubungannya sangat lemah. hubungan antara dua ubahan secara statistik
dapat dinyatakan secara korelasi. Hubungan korelatif dapat dibedakan atas
korelasi fenotip, korelasi genetik, korelasi lingkungan. Metode statistik yang
digunakan untuk menaksir besarnya korelasi genetik adalah berdasarkan analisis
kovariansi untuk menaksir besarnya komponen ragam maupun peragam dari dua sifat
(Hardjosubroto, 1994).
V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan
yang dapat di tulis pada praktikum ini adalah korelasi antara
bobot telur dan bobot tetas telur ayam kampung diperoleh dengan nilai korelasi
0.39 dan korelasi antara indeks bentuk telur dan bobot tetas telur ayam kampung
dengan nilai korelasi 0.087, dan korelasi antara bobot telur dan bobot tetas
telur puyuh dengan nilai 0.29, dan korelasi antara indeks bentuk telur dan
bobot tetas telur puyuh dengan nilai -0.42.
5.2 Saran
Perlu dilkaukan pengukuran lebih lanjut dan penghitungan
nilai korelasi lebih lanjut mengenai variabel leain seperti panjang telur
dengan bobot telur atau bobot telur dengan lebar telur, guna mengetahui
hubungan dari variabel tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Dwiyanto,
K dan Prijono, N. 2007. Keanekaragaman Sumberdaya Hayati. GarahaIlmu, YogyakartaHadiwiyoto, S. 1993.
Hasil-Hasil Olahan Susu, Ikan, Daging Dan Telur. Liberty, Yogyakarta.
Hardjosubroto,
W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak Di Lapangan. Gramedia Wrdiasarana
Indonesia, Jakarta.
Kurnianto,
E. 2009. Pemuliaan Ternak. Graha Ilmu, Yogyakarta.
Noor,
R. R. 1996. Genetika Ternak. Penebar Swadaya, Jakarta.
Nugroho,
E dan I. G. K. Mayun. 1990. Budidaya Burung Puyuh. Eka Offset, Semarang.
Ranto
dan Maloedyn S. 2009. Panduan Lengkap Beternak Itik. Agro Media, Jakarta.
Rasyaf,
M. 1994. Beternak Itik. Kanisius, Yogyakarta.
Rasyaf,
M. 1991. Memelihara Burung Puyuh. Kanisius, Yogyakarta.
Suharno,
B dan Nazaruddin. 1994. Ternak Komersial. Penebar Swadaya. Jakarta
Suprijatna,
E. et al. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta.
Syamsir,
E. 1993. Studi Komparatif Sifat Mutu dan Fungsional Telur Puyuh dan Telur Ayam
Ras. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Syarief,
R dan Irawati. 1990. Pengetahuan Bahan Pangan untuk Industri Pertanian. PT. Medratama Sarana
Prakasa, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar