Penerapan boteknologi dalam bidang reproduksi ternak merupakan suatu
upaya untuk memaksimalkan pemanfaatan potensi sumber daya ternak yang tersedia.
Upaya tersebut dilakukan dengan cara menerapkan konsep teoritis ilmu reproduksi
dengan menggunakan teknik-teknik tertentu yang dapat meningkatkan efisiensi proses
reproduksi ternak untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Ilmu Reproduksi sesungguhnya berkembang dalam upaya
manusia untuk mempertahankan keberadaan makhluk hidup di atas bumi. Pada
hewan tingkat tinggi perkawinan dilakukan antara jantan dan betina yang
masing-masing membawa sel kelamin (gamet) jantan (spermatozoa) dan sel kelamin
betina (ovum atau sel telur). Perkawinan tersebut awalnya terjadi secara alami
tanpa campur tangan manusia, sehingga anak yang dihasilkan oleh seekor hewan
betina dalam suatu periode tertentu cukup rendah. Sejalan dengan peningkatan
kebutuhan manusia akan hewan sebagai konsekuensi pertambahan jumlah penduduk,
maka manusia mulai melibatkan diri secara aktif dalam penanganan reproduksi
hewan sehingga diperoleh produktifitas reproduksi yang maksimal.
Upaya tersebut berawal dengan diperkenalkannya teknologi Artificial
Insemination (AI) atau Inseminasi Buatan (IB) yang bertujuan untuk
memanfaatkan seekor hewan jantan unggul (pejantan) secara maksimal. Dalam perkawian secara alami, seekor pejantan
unggul hanya dapat mengawini 1 sampai 5 ekor betina, namun melalui teknologi
IB, dia dapat mengawini beratus-ratus betina. Teknologi ini semakin berkembang
pesat berkat penemuan para ahli tentang teknik penyimpanan sperma (sperma beku)
sehingga penggunaan sperma segar untuk inseminasi mulai berkurang. Demikian halnya dengan peningkatan kemahiran
para insemitor (petugas yang melakukan IB) dalam mendeteksi berahi seekor
betina sebagai prasyarat keberhasilan sebelum melakukan IB, telah mempermantap
pemanfaatan teknologi ini secara meluas.
Selanjutnya diperkenalkan teknologi embryo transfer
(ET) atau transfer embrio (alih janin atau alih mudigah) yang bertujuan untuk
memanfaatkan hewan betina unggul secara maksimal. Program transfer embrio
merupakan satu kegiatan bersinambung yang meliputi kegiatan:
1. Pemilihan donor dan resipien untuk mendapatkan betina
unggul,
2. Sinkronisasi estrus untuk mendapatkan kondisi reproduksi
yang sama,
3. Super ovulasi (donor) untuk mendapatkan sel telur yang
siap dibuahi (matang) dalam jumlah yang banyak,
4. Inseminasi (IB) untuk mendapatkan sel telur terbuahi yang
selanjutnya berkembang secara in vivo (di dalam tubuh) menjadi embrio,
5. Panen embrio dengan cara flushing, yaitu teknik
memanen embrio dengan cara membilas dan menyedot embrio yang berada di dalam saluran reproduksi betina,
6. Seleksi atau grading, yaitu kegiatan menyeleksi
embrio secara mikroskopis berdasarkan morfologinya untuk mendapatkan embrio
yang layak transfer,
7. Transfer embrio yang diawali dengan pemeriksaan kondisi
reproduksi betina resipien dengan cara palpasi, yaitu memasukkan tangan ke
dalam rektum betina untuk memastikan ada atau tidak adanya corpus luteum
pada permukaan ovarium.
Produksi embrio secara in vivo mempunyai beberapa
keterbatasan dalam hal jumlah produksi dan efisiensi penggunaan waktu dan
biaya, sehingga teknologi In vitro fertilization (IVF) atau fertilisasi
in vitro menjadi pilihan utama untuk menunjang program produksi embrio dalam
skala besar. In Vitro Fertilization (IVF), yaitu suatu teknologi yang
memungkinkan proses fertilisasi (penyatuan spermatozoa dan ovum) terjadi di
luar tubuh. Hadirnya teknologi ini menuntut persyaratan penguasaan teknologi
lain, yaitu teknik pematangan sel telur secara in vitro atau biasa
dikenal dengan istilah In Vitro Maturation (IVM) dan teknik menumbuhkan
embrio secara in vitro atau biasa dikenal dengan istilah In Vitro
Culture (IVC). Sel telur yang belum matang (immature oocyte) umumnya
diperoleh dari seekor betina di rumah potong hewan, selanjutnya dimatangkan
melalui teknologi IVM dan sel telur yang telah matang tersebut dipertemukan
dengan spermatozoa pada proses IVF. Hasil fertilisasi ini kemudian ditumbuhkan
(dikultur melalui teknik IVC) pada suatu medium penumbuh hingga tahap
perkembangan morula atau blastosist sebelum ditransfer ke resipien yang telah
dipersiapkan sebelumnya.
Perkembangan bidang reproduksi selanjutnya diilhami oleh
kejadian kembar pada suatu kelahiran. Setelah dipelajari secara seksama tentang
kejadian kembar tersebut, maka para ahli berpikir bagaimana memproduksi hewan
kembar secara buatan. Pada awalnya upaya ini dilakukan dengan cara in vivo,
yaitu dengan mentransfer embrio pada betina yang telah bunting atau mentransfer
lebih dari satu embrio ke dalam uterus hewan betina (twinning). Selanjutnya, penelitian diarahkan ke produksi
embrio secara in vitro, sehingga
muncullah beberapa teknologi rekayasa embrio seperti, splitting, aggregation
dan cloning. Teknologi ini
berkembang berdasarkan teori yang dibangun dari penelitian yang mendalam
tentang sifat-sifat sel embrio. Salah
satu sifat tersebut yang khas adalah sifat totipotent, yaitu potensi
yang dimiliki oleh setiap sel embrio untuk dapat berkembang menjadi makhluk
hidup sempurna. Sel-sel tersebut belum mengalami pembagian tugas (diferensiasi)
untuk membentuk kelompok sel tertentu. Dalam Ilmu Biologi Perkembangan tahap
ini disebut fase cleavage, yaitu serangkaian pembelahan mitosis yang
cepat tanpa diikuti oleh pertambahan volume sel yang membelah secara nyata
sehingga setiap sel semakin lama semakin kecil. Fase ini berakhir hingga embrio
mencapai tahap blastosist.
Splitting/Twinning
Teknologi ini bertujuan untuk menghasilkan embrio kembar
dengan cara membagi dua suatu embrio tahap morula atau blastosist. Embrio hasil splitting tersebut kemudian
dikultur hingga jumlah sel-selnya kembali normal sebelum ditransfer ke
resipien.
Aggregation
Teknologi ini
bertujuan untuk membuktikan apakah sel blastomere dari satu embrio dapat
digabung dengan sel blastomere dari embrio lain. Untuk maksud tersebut biasanya
para peneliti menggabung sel-sel embrio yang berasal dari dua atau lebih hewan
yang berbeda warna bulu/rambutnya, misalnya tikus hitam dan tikus putih. Hal
ini dimaksudkan agar mudah membuktikan hasil penggabungan tersebut dengan
melihat warna bulu yang muncul pada anak yang lahir. Agregasi (penggabungan)
umumnya menggunakan embrio tahap 8 sel (sapi) karena pada tahap tersebut
sel-sel embrio mempunyai sifat lengket yang sangat tinggi. Hasil agregasi
tersebut dikultur beberapa saat sebelum akhirnya ditransfer ke resipien. Anak
yang lahir dari hasil penggabungan sel-sel embrio tersebut dinamakan chimera.
Clonning
Beberapa pengertian telah diberikan untuk menjelaskan
kata kloning (cloning) dalam pengertian sebagai suatu proses dan klona (clone)
sebagai produk hasil kloning. Beberapa
ahli telah memberi batasan tentang kloning yaitu suatu teknik produksi hewan
identik secara besar-besaran dengan memanfaatkan potensi sel-sel embrio yang
belum berdiferensiasi. Selanjutnya dikatakan bahwa klona merupakan sekumpulan
hewan yang identik secara genetik yang diproduksi dengan cara mengimplantasikan
sel-sel embrio ke dalam oosit yang telah dikeluarkan materi genetiknya.
Intracytoplasmic Sperm Injection
(ICSI)
ICSI adalah teknologi yang memungkinkan seseorang untuk
memasukan seekor spermatozoa ke dalam sel telur untuk tujuan fertilisasi dengan
bantuan alat mikromanipulator. Teknologi ICSI diperkenalkan dalam hubungannya
dengan upaya para ahli untuk mengatasi masalah infertilitas pada manusia
(pria), sedangkan pada hewan (utamanya babi) ditujukan untuk mengatasi masalah
polispermi. Kelebihan utama teknologi ini adalah kita dapat menggunakan
spermatozoa tanpa mempertimbangkan viabilitasnya yang merupakan syarat mutlak
pada IVF. Beberapa jenis hewan (sapi, domba, tikus, mencit) dan manusia telah
lahir dari hasil ICSI, bahkan spermatozoa yang terbukti mati dapat membuahi sel
telur dan selanjutnya berkembang menjadi embrio normal.
Sejak
Palermo
et al. (1992) melaporkan keberhasilan penggunaan metode ICSI
pada manusia hingga
memperoleh kehamilan, teknologi ICSI telah mampu mengatasi
masalah ketidaksuburan (infertility)
pada pria. Sebelum teknik ICSI diperkenalkan, masalah ketidaksuburan pada pria
telah banyak diatasi melalui metode intrauterine insemination (IUI) dan In
Vitro Fertilization (IVF) dengan tingkat keberhasilan yang sangat rendah.
Selanjutnya diperkenalkan teknik partial zona dissection (PZD)
dan subzonal insemination (SUZI) untuk meningkatkan keberhasilan
pembuahan setelah inseminasi, namun secara keseluruhan hasilnya masih rendah
dan angka polispermi cukup tinggi sehingga embrio yang dihasilkan sangat
sedikit yang memenuhi syarat layak transfer (Flaherty &
Matthews, 1995).
Cohen et al. (1994)
mengemukakan bahwa pasangan yang gagal memperoleh pembuahan setelah IVF, maka
peluang terjadinya pembuahan jika IVF dilakukan untuk kedua kalinya tinggal
kurang dari 25%. Pada penelitian yang lain, Palermo et al. (1993) menemukan tingkat kehamilan yang tinggi ketika
melakukan ICSI pada 38 pasangan yang telah gagal total dengan IVF. Hasil ini
memperlihatkan bahwa ICSI mampu menolong pasien yang telah gagal dengan IVF.
Lundin et al. (1996) memperkuat
laporan ini dan menyatakan bahwa ICSI dapat digunakan pada oosit yang telah
berumur satu hari dimana sebelumnya telah gagal terbuahi dengan IVF, dengan
cara ini telah diperoleh dua kehamilan dan berhasil lahir.
Melalui
ICSI, pembuahan lebih efisien dan tepat karena hanya memerlukan satu spermatozoon tanpa menghiraukan
keaktifan atau pergerakan spermatozoa tersebut. Oleh karena itu, Silber et al.
(1994) mengemukakan bahwa selama dimungkinkan untuk mengambil spermatozoa langsung
dari epididymis atau testis dengan pembedahan mikro, maka ICSI menjadi teknik
pilihan yang tepat untuk menangani kasus azoospermia.
Selanjutnya
dikatakan bahwa kombinasi teknik Microsurgical
epididymal sperm aspiration (MESA) dan ICSI mampu memberikan tingkat
keberhasilan pembuahan dan kehamilan yang tinggi. Sedangkan Kamal et al. (1997) melaporkan keberhasilan
pembuahan dan kehamilan menggunakan spermatozoa testis beku setelah dicairkan
dan selanjutnya dimasukkan ke dalam oosit dengan bantuan ICSI.
Proses
penanganan pasien ICSI dilakukan dengan program pengambilan oosit isteri
selanjutnya memasukkan spermatozoa tunggal dari suami ke dalam oosit tersebut.
Untuk memudahkan pengambilan oosit pasien diberi tindakan superovulasi (ovulasi
ganda) agar oosit yang terovulasi lebih banyak. Menurut Mansour et al. (1994) bahwa pengambilan oosit
optimum 36 jam setelah injeksi hormon Human Chorionic
Gonadotrophin
(hCG). Pada saat ICSI dilakukan, untuk
memudahkan penanganan oosit, kumulus sel dilepas dengan menginkubasi oosit
beberapa saat dalam medium
penyangga HEPES yang mengandung hyaluronidase 0.1%.
Oosit selanjutnya dipindahkan ke medium kultur dan diinkubasi sambil menunggu
saat manipulasi. Hanya oosit yang mencapai
tahap metafase kedua (M-II) yang ditandai oleh munculnya polar body
pertama (PB-I) yang dipilih untuk ICSI.
Salah
satu masalah serius pada injeksi spermatozoa adalah seleksi spermatozoa
normal untuk manipulasi. Hal
ini akan berimplikasi pada kromosom embrio yang dihasilkan.
Steirteghem et al. (1993) telah
mengidentifikasi spermatozoa hidup dalam semen dengan menyeleksi spermatozoa
menggunakan metode percoll density dan menambahkan 2-deoxyadenosin
(2DA) dan pentoxyfylline untuk merangsang motilitas spermatozoa. Lebih
lanjut dikatakan bahwa kemungkinan 2DA
bersifat toksik terhadap embrio yang dapat mengakibatkan blok pada pembelahan
dan perkembangannya. Akan tetapi, Nagy et
al. (1995) mengemukakan bahwa peningkatan jumlah spermatozoa yang abnormal
dalam semen bukan merupakan faktor kritis yang menurunkan tingkat fertilisasi
setelah ICSI. Said et
al. (2003) membenarkan hal tersebut, dimana
spermatozoa tikus yang
nyata telah mati karena dilakukan pemisahan kepala spermatozoa dengan ekor,
yang selanjutnya hanya kepala spermatozoa saja yang dimasukkan ke dalam oosit
ternyata mampu tumbuh dan membelah. Hal ini juga memperlihatkan bahwa
untuk tujuan fertilisasi melalui teknik ICSI, spermatozoa yang digunakan tidak harus
motil dan utuh.
Sebelum spermatozoa diinjeksikan ke dalam oosit pada setiap pelaksanaan ICSI, dilakukan immobilisasi atau menghentikan pergerakan spermatozoa. Hal ini dilakukan agar mudah memasukkan spermatozoa ke dalam pipet injeksi dan spermatozoa yang telah terambil tidak melakukan pergerakan lebih lanjut dalam pipet injeksi. Immobilisasi spermatozoa umumnya dilakukan dengan menekan ekor spermatozoa sampai ke dasar petri (Dozortzev et al., 1995) atau dengan memisahkan kepala dan ekor dengan sonikasi (Kuretake et al., 1996). Boediono (2001) menyatakan bahwa perlakuan immobilisasi spermatozoa pada kambing sebelum dilakukan ICSI akan dapat meningkatkan angka pembelahan pada tahap awal perkembangan embrio. Lebih lanjut dikatakan bahwa calcium ionophore (A23187) dapat mengaktivasi oosit kambing hasil maturasi in vitro baik pada ICSI maupun sham injection.
Gomez et al. (1998) melaporkan bahwa oosit domba yang diinjeksi
dengan spermatozoa menggunakan metode ICSI mampu berkembang hingga tahap
blastosis, sedangkan oosit yang dinjeksi dengan metode sham injection
hanya berkembang sampai 16 sel secara partenogenesis. Hal ini menunjukkan bahwa embrio tahap
blastosis yang diperoleh dengan cara ICSI bukanlah hasil pembelahan secara
partenogenesis walaupun tingkat keberhasilannya masih cukup rendah dibanding
fertilisasi in vitro. Lebih lanjut dikatakan bahwa proses kapasitasi dan
reaksi akrosom pada spermatozoa domba mutlak diperlukan sebelum fertilisasi in
vitro atau subzonal injection (SUZI) dilakukan sedangkan pada ICSI
kedua hal tersebut dapat diabaikan. Rangsangan mekanik pada saat melakukan
injeksi spermatozoa ke dalam sitoplasma dapat mengaktivasi oosit (Gomez et
al. 1997).
PENGAWETAN
SPERMATOZOA MENGGUNAKAN METODE PENGERINGBEKUAN
Istilah “freeze-drying” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “pengeringbekuan” merupakan suatu metode pengawetan keterhidupan spesimen biologi dengan dehidrasi dalam keadaan beku di bawah keadaan hampa udara (Rifai 2002). Lebih luas istilah ini juga digunakan secara umum untuk menyebut proses pembuatan kemasan materi biologi, farmasi, makanan dan beberapa penyedap rasa dalam kemasan kering (Commercial Freeze Dry 2003) dan selanjutnya juga dipakai pada bidang preservasi spermatozoa. Dalam proses pengeringbekuan, spermatozoa akan mengalami proses pembekuan dan sublimasi untuk menghasilkan sediaan spermatozoa dalam bentuk kering. Produk ini dapat disimpan pada suhu kamar sebelum digunakan untuk keperluan fertilisasi oosit.
Prinsip utama metode pengeringbekuan adalah menghilangkan kandungan air suatu bahan sebanyak ±98% dengan cara sublimasi. Pada prosedur ini kandungan air suatu bahan akan mengalami dua fase perubahan, yaitu membeku dan menyublim. Pada proses pembekuan, produk dalam suatu kemasan yang kedap udara akan dipaparkan pada kondisi yang menyebabkan air dalam produk tersebut membeku, sedangkan pada proses pengeringan akan dialirkan suatu tekanan udara negatif ke dalam kemasan produk sehingga padatan air mengalami proses sublimasi (Commercial Freeze Dry 2003).
Penggunaan metode pengeringbekuan untuk preservasi spermatozoa telah diterapkan antara lain oleh Hoshi et al. (1994) yang melakukan pengeringbekuan terhadap spermatozoa manusia. Sebelum melakukan pengeringbekuan, spermatozoa terlebih dahulu diseleksi dengan cara swim up dengan menempatkan cairan semen pada bagian dasar tabung yang berisi medium dan spermatozoa dibiarkan berenang ke permukaan medium. Spermatozoa yang mencapai permukaan medium diambil menggunakan pipet mikro dan dimasukkan ke dalam tabung untuk selanjutnya dibekukan pada suhu -80 oC. Proses pengeringbekuan dilakukan dengan menggunakan mesin pengeringbekuan. Spermatozoa hasil pengeringbekuan dapat disimpan di dalam desikator dengan suhu 4 oC sebelum digunakan untuk penyuntikan mikro (Yanagida et al. 1991; Katayose et al. 1992).
Selain spermatozoa manusia yang digunakan sebagai materi dalam proses pengeringbekuan juga digunakan spermatozoa hewan. Keskintepe et al. (2002) menggunakan semen beku sapi sebagai sumber spermatozoa dalam proses pengeringbekuan. Untuk membersihkan dan mendapatkan spermatozoa yang mempunyai motilitas terbaik maka semen dalam straw dikeluarkan dan diletakkan di bagian atas 1 ml medium HEPES-tyrode albumin lactate pyruvate (HEPES-TALP) yang mengandung enhance-S-plus (Conceptions Technologies Inc., San Diego, CA) dengan konsentrasi 45% pada lapisan atas dan 90% pada lapisan bawah tabung 15 ml. Selanjutnya dilakukan sentrifugasi pada kecepatan 1200 x g selama 15 menit. Setelah sentrifugasi, sebanyak 0.5 ml medium pada lapis bawah tabung dipipet secara perlahan dan dipindahkan ke tabung 15 ml yang lain sebelum dicampurkan dengan 2 ml medium Hepes-TALP. Sentrifugasi tahap kedua dilakukan pada kecepatan 300 x g selama empat menit. Spermatozoa hasil sentrifugasi tersebut selanjutnya diencerkan menggunakan modified dulbecco modified eagle medium (DMEM, 10315-026; Gibco) hingga mencapai konsentrasi spermatozoa 0.5 x 105/ml. Selanjutnya, sebanyak 100 μl suspensi spermatozoa dipipet dan dimasukkan ke dalam tabung mikro 1 ml dan dicelupkan ke dalam nitrogen cair. Tabung tersebut kemudian dikeluarkan dari nitrogen cair dan dipasang pada mesin pengeringbekuan (FTS System Inc., Stone Ridge, NY) dengan suhu pre cooled -47 oC dan inlet pressure 190 x 103 mBar. Proses ini berlangsung selama 12-18 jam. Kemasan tersebut ditutup rapat dan disimpan pada suhu 4 oC selama satu sampai 3 bulan sebelum digunakan.
Kaneko et al. (2003) menggunakan spermatozoa mencit sebagai materi dalam proses pengeringbekuan. Prosedur pengeringbekuan tersebut diawali dengan mengeluarkan spermatozoa yang masih berbentuk pasta dari epididimis lalu dimasukkan secara perlahan ke bagian dasar tabung yang mengandung 1 ml larutan penyangga EGTA Tris-HCl. Selanjutnya tabung tersebut dihangatkan pada suhu 37 oC selama 10 menit agar spermatozoa mengurai dari kelompoknya dan bergerak ke arah permukaan larutan. Hal ini merupakan salah satu bentuk seleksi spermatozoa dimana spermatozoa yang mampu mencapai permukaan larutan merupakan spermatozoa yang mempunyai motilitas terbaik. Kemudian, sebanyak 800 µl larutan yang berada di bagian atas tabung diambil dan dimasukkan ke dalam ampul kaca berleher panjang. Pada proses pengeringbekuan, ampul yang berisi spermatozoa tersebut dicelup terlebih dahulu ke dalam nitrogen cair selama 20 detik lalu dihubungkan dengan mesin pengeringbekuan (Freeze-Dry Systems, Labconco, Kansas City, MO). Empat jam kemudian ampul ditutup dengan cara membakar bagian ujung ampul agar tidak terjadi kontaminasi dengan udara luar. Diupayakan tekanan udara yang berada pada ampul sekitar 30-33 x 10-3 mbar pada saat menutup ampul tersebut. Selanjutnya ampul tersebut disimpan pada suhu 4 oC sampai digunakan.
Selain penggunaan berbagai sumber spermatozoa dalam proses pengeringbekuan, modifikasi teknik juga telah dilakukan untuk mendapatkan sediaan spermatozoa dalam bentuk kering melalui prosedur yang lebih sederhana, antara lain dilakukan oleh Mulyoto (Mulyoto 24 Januari 2003, komunikasi pribadi) dengan menggunakan gas nitrogen. Modifikasi yang dimaksud meliputi penyiapan suspensi spermatozoa dengan cara penghisapan ke dalam mini straw 0.25 ml sampai membentuk lapisan (sperm suspension layer) di dinding dalam mini straw. Kemudian ke dalam mini straw ditiupkan gas nitrogen (bukan nitrogen cair), sampai lapisan tersebut mengering. Setelah kering mini straw tersebut dibungkus dengan midi straw 0.5 ml yang salah satu ujungnya sudah ditutup. Sementara meniupkan gas nitrogen ke dalam midi straw, ujung midi straw yang lain ditutup bersamaan dengan mini straw sehingga kemasan tersebut rapat dan gas nitrogen terperangkap di dalamnya. Hal ini sangat penting agar kandungan oksigen di dalam kedua straw dapat ditekan seminimal mungkin bahkan sebaiknya tidak ada sama sekali agar proses oksidasi tidak terjadi.
Penggunaan spermatozoa hasil pengeringbekuan untuk membuahi oosit memberikan hasil yang menggembirakan dengan menggunakan teknik intracytoplasmic sperm injection (ICSI). Hal ini terbukti dengan lahirnya beberapa hewan hasil ICSI menggunakan spermatozoa hasil pengeringbekuan. Nampaknya spermatozoa yang telah mengalami proses pengeringbekuan walaupun tidak hidup lagi tetapi integritas inti selnya masih tetap terjaga sehingga dapat mendukung perkembangan oosit lebih lanjut (Keskintepe et al. 2002). Lebih lanjut dikatakan bahwa spermatozoa yang diinjeksi ke dalam oosit tidak perlu dalam kondisi hidup atau bergerak untuk mendukung perkembangan embrio yang normal. Goto et al. (1990) melaporkan lahirnya dua ekor anak sapi yang normal dari hasil injeksi oosit menggunakan spermatozoa yang dibekukan tanpa krioprotektan.
Bukti lain dikemukakan oleh Said dan Niwa (2004) yang melaporkan bahwa spermatozoa yang diidentifikasi mati dengan uji viabilitas menggunakan sperm viability kit, masih mampu melakukan pembuahan normal setelah disuntikan ke dalam oosit dan selanjutnya tumbuh mencapai tahap blastosis. Selain itu, ICSI yang dilakukan pada manusia umumnya menggunakan spermatozoa yang terlebih dahulu diimobilisasi untuk mempermudah pelaksanaan penyuntikan sehingga keberhasilan ICSI secara nyata dapat ditingkatkan. Hal ini mungkin disebabkan semakin cepat membran plasma spermatozoa pecah maka semakin cepat pula proses penyatuan inti spermatozoa dengan sitoplasma oosit. Imobilisasi spermatozoa umumnya dilakukan dengan memotong ekor spermatozoa menggunakan pipet suntik dengan cara menekan sambil menggores ekor spermatozoa pada dasar cawan petri. Hal ini dilakukan sesaat sebelum penyuntikan agar spermatozoa menjadi tidak bergerak (immobile) sehingga operator dapat dengan mudah memasukkan spermatozoa ke dalam pipet suntik untuk selanjutnya disuntikkan ke dalam oosit (Boediono 2001).
Kaneko et al. (2003) mengatakan bahwa proses pengeringbekuan dapat merusak komponen struktural spermatozoa. Semua spermatozoa terbukti mati setelah mengalami pengeringbekuan yang menggambarkan bahwa membran plasma spermatozoa mengalami kerusakan yang berat. Selain itu beberapa spermatozoa juga mengalami pemisahan antara bagian kepala dan ekor. Hal ini mungkin menunjukkan bahwa bagian pertemuan ekor dan kepala spermatozoa sangat rapuh sehingga dengan sedikit goncangan fisik akan terputus. Namun demikian integritas genetik spermatozoa masih tetap terjaga yang dibuktikan melalui pemeriksaan kromosom dan kemampuan spermatozoa mendukung perkembangan oosit.
Kusakabe et al. (2001) melaporkan bahwa perkembangan oosit pada hewan mencit yang disuntik spermatozoa hasil pengeringbekuan dapat berlangsung dengan baik. Selain itu juga diperoleh bukti adanya aktivasi spontan pada oosit (hampir 90%) setelah penyuntikan kepala spermatozoa dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa molekul yang menyebabkan aktivasi pada spermatozoa tersebut tidak mengalami kerusakan pada proses pengeringbekuan. Lebih lanjut dikatakan bahwa spermatozoa mencit yang dilarutkan dalam pengencer yang tidak mengandung krioprotektan, lalu dicelup ke dalam nitrogen cair ternyata semua spermatozoa mati, hal ini dibuktikan dengan metode pewarnaan. Namun demikian, pertumbuhan embrio yang normal dapat diperoleh dari oosit yang disuntik dengan kepala spermatozoa yang mati tersebut. Hal ini membuktikan bahwa asumsi tentang sel hidup dan nukleus hidup tidak sama (Wakayama & Yanagimachi 1998).
Untuk mengoptimalkan upaya perlindungan terhadap inti spermatozoa selama proses pengeringbekuan, Kaneko et al. (2003) menggunakan larutan penyangga ethylene glycol-bis [beta-aminoethyl ether]-N,N,N’,N’-tetraacetic acid (EGTA) Tris-HCl sebagai medium pelarut spermatozoa mencit. Senyawa EGTA berfungsi menekan fungsi kation bivalen yang mendukung kerja enzim endonuklease, sehingga proses pemutusan ikatan fosfodiester pada DNA oleh enzim endonuklease tidak terjadi (Clark & Eichhorn 1974). Selain itu, perlindungan terhadap inti spermatozoa juga dapat dilakukan dengan mengatur pH medium pelarut spermatozoa. Enzim DNAse I berfungsi optimal pada pH 7 dan stabil pada pH 5-6 sehingga jika dipapar pada medium dengan pH tinggi aktivitas enzim tersebut dalam merusak struktur DNA akan terganggu (Kaneko et al. 2003). Selanjutnya dilaporkan bahwa pelarut spermatozoa pada saat pengeringbekuan dengan pH 8.0 akan mampu mempertahankan integritas kromosom dan perkembangan spermatozoa lebih lanjut. Sedangkan, Kusakabe et al. (2001) melakukan percobaan pada hewan mencit dengan menggunakan tiga macam media pelarut spermatozoa sebelum melakukan proses pengeringbekuan. Pelarut tersebut adalah penyangga NaCl/EGTA Tris-HCl, medium CZB dan medium Hepes-CZB. Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa penyangga NaCl/EGTA Tris-HCl memberikan hasil yang lebih baik dalam hal memberikan perlindungan kepada DNA spermatozoa.
Daya tahan inti spermatozoa terhadap suhu rendah telah dibuktikan dengan lahirnya beberapa anak hasil inseminasi dengan menggunakan spermatozoa beku (Watson 1990). Selain itu, spermatozoa juga tahan terhadap suhu panas, bahkan spermatozoa yang dipapar pada suhu 90 oC selama 30 menit pun masih mampu membentuk pronukleus (Yanagida et al. 1991). Daya tahan inti spermatozoa terhadap proses pengeringan telah dibuktikan pula melalui pengeringbekuan spermatozoa manusia yang dilanjutkan dengan penyimpanan di dalam desikator selama beberapa bulan masih mampu mendukung pembentukan pronukleus (Katayose et al. 1992).
DAFTAR PUSTAKA
Boediono
A. 2001. Sperm immobilization prior to intracytoplasmic sperm injection (ICSI)
and oocyte activation improves early development of microfertilized goat
oocytes. Reprotech 1 (1):29-34.
Clark
P, Eichhorn GL. 1974. A predictable
modification of enzyme specificity. Selective alteration of DNA bases by metal
ions to promote cleavage specificity by deoxyribonuclease. Biochemistry
13:5098-5102.
Cohen
J, Aikani M, Munne S, Palermo GD. 1994.
Micromanipulation in clinical management of fertility disorders. Seminar in
Reproductive Endocrinology, 12:151-168.
Commercial
Freeze Dry.
2003. The freeze-drying process. http://www. commercialfreezedry.co.uk/process.html. [9
Juni 2003].
Dozortzev
D, Rybouchkin A, Sutter P, Qian C,
Dhont M. 1995. Human oocyte activation following
intracytoplasmic sperm injection: the role of the sperm cell. Hum Reprod
10:403-407.
Flaherty SP,
Matthews CD. 1995. Introduction in Sympossium on Intracytoplasmic Sperm
Injection. Reprod Fertil Dev 7:135-136.
Gilbert SF. 1994. Developmental
Biology. Ed ke-4. Massachusetts:
Sinauer Associates Inc.
Gomez MC, Catt JW, Evans G, Maxwell
WMC. 1998. Cleavage, development and competence of sheep
embryos fertilized by intracytoplasmic sperm injection and in vitro
fertilization. Theriogenology 49:1143-1154.
Gomez MC, Catt JW, Gillan L, Evans G,
Maxwell WMC. 1997. Effect of culture, incubation and acrosome
reaction of fresh and frozen-thawed ram spermatozoa for in vitro
fertilization and intracytoplasmic sperm injection. Reprod Fertil Dev 9:665-673.
Gordon I.
1994. Laboratory Production of
Cattle Embryos. UK: CAB
International.
Goto
K, Kinoshita A, Takuma Y, Ogawa K. 1990.
Fertilization of bovine oocytes by the injection of immobilized, killed
spermatozoa. Vet Rec 127:517-520.
Hoshi
K, Yanagida K, Katayose H, Yazawa H. 1994.
Pronuclear formation and cleavage of mammalian eggs after microsurgical
injection of freeze-dried sperm nuclei. Zygote 2:237-242.
Kamal
A, Mansour RT, Aboulghar MA.
1997. Pregnancy after ICSI using cryo-thawed epididymal and testicular
spermatozoa. J Mid East Fertil Soc 2:30-34.
Kaneko
T, Whittingham DG, Yanagimachi R.
2003. Effect of pH value of
freeze-drying solution on the chromosome integrity and developmental ability of
mouse spermatozoa. Biol Reprod
68:136-139.
Katayose
H, Matsuda J, Yanagimachi R. 1992. The ability of dehydrated hamster and human
sperm nuclei to develop into pronuclei. Biol
Reprod 47:277-284.
Keskintepe
L, Pacholczyk G, Machnicka A, Norris K,
Curuk MA, Khan I, Brackett BG. 2002.
Bovine blastocyst development from oocytes injected with freeze-dried
spermatozoa. Biol Reprod
67:409-415.
Kuretake
S, Kimura Y, Hoshi K, Yanagimachi R.
1996. Fertilization and
development of mouse oocytes injected with isolated sperm head. Biol Reprod 55:789-795.
Kusakabe
H, Szczygiel MA, Whittingham DG, Yanagimachi R. 2001. Maintenance of genetic integrity in frozen
and freeze-dried mouse spermatozoa. PNAS
98:13501-13506.
Lundin
K, Sjogren A, Hamburger L. 1996. Reinsemination of
one-day-old oocytes by use of intracytoplasmic sperm injection. Fertil
Steril 66:118-121.
Mansour
RT, Aboulghar MA, Serour GI. 1994. Study of the optimum
time for human chorionic gonadotropin-ovum pick-up interval in in vitro
fertilization. J Ass Reprod Gen 11:428-481.
Nagy
ZP, Liu J, Joris H, Verheyen G, Tournayr H,
Camus M, Derde MC. 1995. The result of intracytoplasmic sperm
injection is not related to any of the three basic sperm parameters. Hum
Reprod 10:1123-1129.
Palermo G, Joris H, Devroey
P, van Steirteghem AC. 1992. Pregnancies after intracytoplasmic
injection of single spermatozoon into an oocyte. Lancet, 340:17-18.
Palermo
G, Joris H, Derde MP, Camus M, Devroey P,
van Steirteghem AC. 1993. Sperm characteristics and outcome of human
assisted fertilization by subzonal insemination and intracytoplasmic sperm
injection. Fertil Steril 59:826-835.
Partodihardjo S. 1987. Ilmu Reproduksi Hewan (Edisi Kedua). Mutiara Sumber
Widya, Jakarta.
Rifai MA.
2002. Kamus Biologi. Ed.ke-2.
Jakarta: Balai Pustaka.
Said S, Niwa K. 2004.
Pembuahan dan perkembangan oosit tikus setelah disuntik spermatozoa
mati. Hayati 11:135-138.
Said S, Saili T, Tappa B. 2003. Pengaktifan dan pembuahan oosit tikus setelah
disuntik dengan kepala spermatozoa. Hayati 10:96-99.
Saili
T, Bain A, Nafiu L. 1998. Kemajuan dalam teknologi kloning. Majalah
Ilmiah Agriplus. Edisi Nomor 20, Tahun VIII Januari 1998. Hal. 48-53. Fakultas
Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari
Silber
SJ, Nagy ZP, Liu J. 1994. Conventional in-vitro
fertilization versus intracytoplasmic sperm injection for patients requiring
microsurgical sperm aspiration. Hum Reprod 9:1705-1709.
Wakayama
T, Yanagimachi R. 1998. Development of normal mice from oocytes injected with
freeze-dried spermatozoa. Nat Biotech 16:639-641.
Watson
PF. 1990. Artificial insemination and the preservation
of semen. Di dalam: Lemming, editor. Marshall’s Physiology of Reproduction.
Edinburgh:
Churchill Livingston. hlm 747-869.
Yanagida
K, Yanagimachi R, Perreault
SD, Kleinfeld RG. 1991. Thermostability of sperm nuclei assessed by
microinjection into hamster oocytes. Biol Reprod 44:440-447.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar