Rabu, 18 November 2015

Teknologi Reproduksi Ternak , Materi



Penerapan boteknologi dalam bidang reproduksi ternak merupakan suatu upaya untuk memaksimalkan pemanfaatan potensi sumber daya ternak yang tersedia. Upaya tersebut dilakukan dengan cara menerapkan konsep teoritis ilmu reproduksi dengan menggunakan teknik-teknik tertentu yang dapat meningkatkan efisiensi proses reproduksi ternak untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Ilmu Reproduksi sesungguhnya berkembang dalam upaya manusia untuk mempertahankan keberadaan makhluk hidup di atas bumi.  Pada hewan tingkat tinggi perkawinan dilakukan antara jantan dan betina yang masing-masing membawa sel kelamin (gamet) jantan (spermatozoa) dan sel kelamin betina (ovum atau sel telur). Perkawinan tersebut awalnya terjadi secara alami tanpa campur tangan manusia, sehingga anak yang dihasilkan oleh seekor hewan betina dalam suatu periode tertentu cukup rendah. Sejalan dengan peningkatan kebutuhan manusia akan hewan sebagai konsekuensi pertambahan jumlah penduduk, maka manusia mulai melibatkan diri secara aktif dalam penanganan reproduksi hewan sehingga diperoleh produktifitas reproduksi yang maksimal. 
Upaya tersebut berawal dengan diperkenalkannya teknologi Artificial Insemination (AI) atau Inseminasi Buatan (IB) yang bertujuan untuk memanfaatkan seekor hewan jantan unggul (pejantan) secara maksimal.  Dalam perkawian secara alami, seekor pejantan unggul hanya dapat mengawini 1 sampai 5 ekor betina, namun melalui teknologi IB, dia dapat mengawini beratus-ratus betina. Teknologi ini semakin berkembang pesat berkat penemuan para ahli tentang teknik penyimpanan sperma (sperma beku) sehingga penggunaan sperma segar untuk inseminasi mulai berkurang.  Demikian halnya dengan peningkatan kemahiran para insemitor (petugas yang melakukan IB) dalam mendeteksi berahi seekor betina sebagai prasyarat keberhasilan sebelum melakukan IB, telah mempermantap pemanfaatan teknologi ini secara meluas.
Selanjutnya diperkenalkan teknologi embryo transfer (ET) atau transfer embrio (alih janin atau alih mudigah) yang bertujuan untuk memanfaatkan hewan betina unggul secara maksimal. Program transfer embrio merupakan satu kegiatan bersinambung yang meliputi kegiatan:
1.    Pemilihan donor dan resipien untuk mendapatkan betina unggul,
2.    Sinkronisasi estrus untuk mendapatkan kondisi reproduksi yang sama,
3.    Super ovulasi (donor) untuk mendapatkan sel telur yang siap dibuahi (matang) dalam jumlah yang banyak,
4.    Inseminasi (IB) untuk mendapatkan sel telur terbuahi yang selanjutnya berkembang secara in vivo (di dalam tubuh) menjadi embrio,
5.    Panen embrio dengan cara flushing, yaitu teknik memanen embrio dengan cara membilas dan menyedot embrio yang berada di dalam  saluran reproduksi betina,
6.    Seleksi atau grading, yaitu kegiatan menyeleksi embrio secara mikroskopis berdasarkan morfologinya untuk mendapatkan embrio yang layak transfer,
7.    Transfer embrio yang diawali dengan pemeriksaan kondisi reproduksi betina resipien dengan cara palpasi, yaitu memasukkan tangan ke dalam rektum betina untuk memastikan ada atau tidak adanya corpus luteum pada permukaan ovarium.
Produksi embrio secara in vivo mempunyai beberapa keterbatasan dalam hal jumlah produksi dan efisiensi penggunaan waktu dan biaya, sehingga teknologi In vitro fertilization (IVF) atau fertilisasi in vitro menjadi pilihan utama untuk menunjang program produksi embrio dalam skala besar. In Vitro Fertilization (IVF), yaitu suatu teknologi yang memungkinkan proses fertilisasi (penyatuan spermatozoa dan ovum) terjadi di luar tubuh. Hadirnya teknologi ini menuntut persyaratan penguasaan teknologi lain, yaitu teknik pematangan sel telur secara in vitro atau biasa dikenal dengan istilah In Vitro Maturation (IVM) dan teknik menumbuhkan embrio secara in vitro atau biasa dikenal dengan istilah In Vitro Culture (IVC). Sel telur yang belum matang (immature oocyte) umumnya diperoleh dari seekor betina di rumah potong hewan, selanjutnya dimatangkan melalui teknologi IVM dan sel telur yang telah matang tersebut dipertemukan dengan spermatozoa pada proses IVF. Hasil fertilisasi ini kemudian ditumbuhkan (dikultur melalui teknik IVC) pada suatu medium penumbuh hingga tahap perkembangan morula atau blastosist sebelum ditransfer ke resipien yang telah dipersiapkan sebelumnya.
Perkembangan bidang reproduksi selanjutnya diilhami oleh kejadian kembar pada suatu kelahiran. Setelah dipelajari secara seksama tentang kejadian kembar tersebut, maka para ahli berpikir bagaimana memproduksi hewan kembar secara buatan. Pada awalnya upaya ini dilakukan dengan cara in vivo, yaitu dengan mentransfer embrio pada betina yang telah bunting atau mentransfer lebih dari satu embrio ke dalam uterus hewan betina (twinning).  Selanjutnya, penelitian diarahkan ke produksi embrio secara  in vitro, sehingga muncullah beberapa teknologi rekayasa embrio seperti, splitting, aggregation dan cloning.  Teknologi ini berkembang berdasarkan teori yang dibangun dari penelitian yang mendalam tentang sifat-sifat sel embrio.  Salah satu sifat tersebut yang khas adalah sifat totipotent, yaitu potensi yang dimiliki oleh setiap sel embrio untuk dapat berkembang menjadi makhluk hidup sempurna. Sel-sel tersebut belum mengalami pembagian tugas (diferensiasi) untuk membentuk kelompok sel tertentu. Dalam Ilmu Biologi Perkembangan tahap ini disebut fase cleavage, yaitu serangkaian pembelahan mitosis yang cepat tanpa diikuti oleh pertambahan volume sel yang membelah secara nyata sehingga setiap sel semakin lama semakin kecil. Fase ini berakhir hingga embrio mencapai tahap blastosist.

Splitting/Twinning
Teknologi ini bertujuan untuk menghasilkan embrio kembar dengan cara membagi dua suatu embrio tahap morula atau blastosist.  Embrio hasil splitting tersebut kemudian dikultur hingga jumlah sel-selnya kembali normal sebelum ditransfer ke resipien.

Aggregation
            Teknologi ini bertujuan untuk membuktikan apakah sel blastomere dari satu embrio dapat digabung dengan sel blastomere dari embrio lain. Untuk maksud tersebut biasanya para peneliti menggabung sel-sel embrio yang berasal dari dua atau lebih hewan yang berbeda warna bulu/rambutnya, misalnya tikus hitam dan tikus putih. Hal ini dimaksudkan agar mudah membuktikan hasil penggabungan tersebut dengan melihat warna bulu yang muncul pada anak yang lahir. Agregasi (penggabungan) umumnya menggunakan embrio tahap 8 sel (sapi) karena pada tahap tersebut sel-sel embrio mempunyai sifat lengket yang sangat tinggi. Hasil agregasi tersebut dikultur beberapa saat sebelum akhirnya ditransfer ke resipien.  Anak yang lahir dari hasil penggabungan sel-sel embrio tersebut dinamakan chimera.

Clonning
Beberapa pengertian telah diberikan untuk menjelaskan kata kloning (cloning) dalam pengertian sebagai suatu proses dan klona (clone) sebagai  produk hasil kloning. Beberapa ahli telah memberi batasan tentang kloning yaitu suatu teknik produksi hewan identik secara besar-besaran dengan memanfaatkan potensi sel-sel embrio yang belum berdiferensiasi. Selanjutnya dikatakan bahwa klona merupakan sekumpulan hewan yang identik secara genetik yang diproduksi dengan cara mengimplantasikan sel-sel embrio ke dalam oosit yang telah dikeluarkan materi genetiknya.

Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI)
ICSI adalah teknologi yang memungkinkan seseorang untuk memasukan seekor spermatozoa ke dalam sel telur untuk tujuan fertilisasi dengan bantuan alat mikromanipulator. Teknologi ICSI diperkenalkan dalam hubungannya dengan upaya para ahli untuk mengatasi masalah infertilitas pada manusia (pria), sedangkan pada hewan (utamanya babi) ditujukan untuk mengatasi masalah polispermi. Kelebihan utama teknologi ini adalah kita dapat menggunakan spermatozoa tanpa mempertimbangkan viabilitasnya yang merupakan syarat mutlak pada IVF. Beberapa jenis hewan (sapi, domba, tikus, mencit) dan manusia telah lahir dari hasil ICSI, bahkan spermatozoa yang terbukti mati dapat membuahi sel telur dan selanjutnya berkembang menjadi embrio normal.
Sejak Palermo  et al. (1992) melaporkan keberhasilan penggunaan metode ICSI pada manusia hingga memperoleh kehamilan, teknologi ICSI telah mampu mengatasi masalah ketidaksuburan (infertility) pada pria. Sebelum teknik ICSI diperkenalkan, masalah ketidaksuburan pada pria telah banyak diatasi melalui metode intrauterine insemination (IUI) dan In Vitro Fertilization (IVF) dengan tingkat keberhasilan yang sangat rendah. Selanjutnya diperkenalkan teknik partial zona dissection (PZD) dan subzonal insemination (SUZI) untuk meningkatkan keberhasilan pembuahan setelah inseminasi, namun secara keseluruhan hasilnya masih rendah dan angka polispermi cukup tinggi sehingga embrio yang dihasilkan sangat sedikit yang memenuhi syarat layak transfer (Flaherty & Matthews, 1995).
Cohen et al. (1994) mengemukakan bahwa pasangan yang gagal memperoleh pembuahan setelah IVF, maka peluang terjadinya pembuahan jika IVF dilakukan untuk kedua kalinya tinggal kurang dari 25%. Pada penelitian yang lain, Palermo et al. (1993) menemukan tingkat kehamilan yang tinggi ketika melakukan ICSI pada 38 pasangan yang telah gagal total dengan IVF. Hasil ini memperlihatkan bahwa ICSI mampu menolong pasien yang telah gagal dengan IVF. Lundin et al. (1996) memperkuat laporan ini dan menyatakan bahwa ICSI dapat digunakan pada oosit yang telah berumur satu hari dimana sebelumnya telah gagal terbuahi dengan IVF, dengan cara ini telah diperoleh dua kehamilan dan berhasil lahir.
Melalui ICSI, pembuahan lebih efisien dan tepat karena hanya memerlukan satu spermatozoon tanpa menghiraukan keaktifan atau pergerakan spermatozoa tersebut. Oleh karena itu, Silber et al. (1994) mengemukakan bahwa selama dimungkinkan untuk mengambil spermatozoa langsung dari epididymis atau testis dengan pembedahan mikro, maka ICSI menjadi teknik pilihan yang tepat untuk menangani kasus azoospermia. Selanjutnya dikatakan bahwa kombinasi teknik Microsurgical epididymal sperm aspiration (MESA) dan ICSI mampu memberikan tingkat keberhasilan pembuahan dan kehamilan yang tinggi. Sedangkan Kamal et al. (1997) melaporkan keberhasilan pembuahan dan kehamilan menggunakan spermatozoa testis beku setelah dicairkan dan selanjutnya dimasukkan ke dalam oosit dengan bantuan ICSI.
Proses penanganan pasien ICSI dilakukan dengan program pengambilan oosit isteri selanjutnya memasukkan spermatozoa tunggal dari suami ke dalam oosit tersebut. Untuk memudahkan pengambilan oosit pasien diberi tindakan superovulasi (ovulasi ganda) agar oosit yang terovulasi lebih banyak. Menurut Mansour et al. (1994) bahwa pengambilan oosit optimum 36 jam setelah injeksi hormon Human Chorionic Gonadotrophin (hCG). Pada saat  ICSI dilakukan, untuk memudahkan penanganan oosit, kumulus sel dilepas dengan menginkubasi oosit beberapa saat dalam medium penyangga HEPES yang mengandung hyaluronidase 0.1%. Oosit selanjutnya dipindahkan ke medium kultur dan diinkubasi sambil menunggu saat manipulasi. Hanya oosit yang mencapai tahap metafase kedua (M-II) yang ditandai oleh munculnya polar body pertama (PB-I) yang dipilih untuk ICSI.
Salah satu masalah serius pada injeksi spermatozoa adalah seleksi spermatozoa normal untuk manipulasi. Hal ini akan berimplikasi pada kromosom embrio yang dihasilkan. Steirteghem et al. (1993) telah mengidentifikasi spermatozoa hidup dalam semen dengan menyeleksi spermatozoa menggunakan metode percoll density dan menambahkan 2-deoxyadenosin (2DA) dan pentoxyfylline untuk merangsang motilitas spermatozoa. Lebih lanjut dikatakan bahwa  kemungkinan 2DA bersifat toksik terhadap embrio yang dapat mengakibatkan blok pada pembelahan dan perkembangannya. Akan tetapi, Nagy et al. (1995) mengemukakan bahwa peningkatan jumlah spermatozoa yang abnormal dalam semen bukan merupakan faktor kritis yang menurunkan tingkat fertilisasi setelah ICSI. Said et al. (2003) membenarkan hal tersebut, dimana spermatozoa tikus yang nyata telah mati karena dilakukan pemisahan kepala spermatozoa dengan ekor, yang selanjutnya hanya kepala spermatozoa saja yang dimasukkan ke dalam oosit ternyata mampu tumbuh dan membelah. Hal ini juga memperlihatkan bahwa untuk tujuan fertilisasi melalui teknik ICSI, spermatozoa yang digunakan tidak harus motil dan utuh.
Sebelum spermatozoa diinjeksikan ke dalam oosit pada setiap pelaksanaan ICSI, dilakukan immobilisasi atau menghentikan pergerakan spermatozoa. Hal ini dilakukan agar mudah memasukkan spermatozoa ke dalam pipet injeksi dan spermatozoa yang telah terambil tidak melakukan pergerakan lebih lanjut dalam pipet injeksi. Immobilisasi spermatozoa umumnya dilakukan dengan menekan ekor spermatozoa sampai ke dasar petri (Dozortzev et al., 1995) atau dengan memisahkan kepala dan ekor dengan sonikasi (Kuretake et al., 1996).  Boediono (2001) menyatakan bahwa perlakuan immobilisasi spermatozoa pada kambing sebelum dilakukan ICSI akan dapat meningkatkan angka pembelahan pada tahap awal perkembangan embrio.  Lebih lanjut dikatakan bahwa calcium ionophore (A23187) dapat mengaktivasi oosit kambing hasil maturasi in vitro baik pada ICSI maupun sham injection. 
Gomez et al. (1998) melaporkan bahwa oosit domba yang diinjeksi dengan spermatozoa menggunakan metode ICSI mampu berkembang hingga tahap blastosis, sedangkan oosit yang dinjeksi dengan metode sham injection hanya berkembang sampai 16 sel secara partenogenesis.  Hal ini menunjukkan bahwa embrio tahap blastosis yang diperoleh dengan cara ICSI bukanlah hasil pembelahan secara partenogenesis walaupun tingkat keberhasilannya masih cukup rendah dibanding fertilisasi in vitro. Lebih lanjut dikatakan bahwa proses kapasitasi dan reaksi akrosom pada spermatozoa domba mutlak diperlukan sebelum fertilisasi in vitro atau subzonal injection (SUZI) dilakukan sedangkan pada ICSI kedua hal tersebut dapat diabaikan. Rangsangan mekanik pada saat melakukan injeksi spermatozoa ke dalam sitoplasma dapat mengaktivasi oosit (Gomez et al. 1997). 
PENGAWETAN SPERMATOZOA MENGGUNAKAN METODE PENGERINGBEKUAN
Istilah “freeze-drying” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “pengeringbekuan” merupakan suatu metode pengawetan keterhidupan spesimen biologi dengan dehidrasi dalam keadaan beku di bawah keadaan hampa udara (Rifai  2002). Lebih luas istilah ini juga digunakan secara umum untuk menyebut proses pembuatan kemasan materi biologi, farmasi, makanan dan beberapa penyedap rasa dalam kemasan kering (Commercial Freeze Dry  2003) dan selanjutnya juga dipakai pada bidang preservasi spermatozoa. Dalam proses pengeringbekuan, spermatozoa akan mengalami proses pembekuan dan sublimasi untuk menghasilkan sediaan spermatozoa dalam bentuk kering. Produk ini dapat disimpan pada suhu kamar  sebelum digunakan untuk keperluan fertilisasi oosit.
Prinsip utama metode pengeringbekuan adalah menghilangkan kandungan air suatu bahan sebanyak ±98% dengan cara sublimasi. Pada prosedur ini kandungan air suatu bahan akan mengalami dua fase perubahan, yaitu membeku dan menyublim. Pada proses pembekuan, produk dalam suatu kemasan yang kedap udara akan dipaparkan pada kondisi yang menyebabkan air dalam produk tersebut membeku, sedangkan pada proses pengeringan akan dialirkan suatu tekanan udara negatif ke dalam kemasan produk sehingga padatan air mengalami proses sublimasi (Commercial Freeze Dry  2003).  
Penggunaan metode pengeringbekuan untuk preservasi spermatozoa telah diterapkan antara lain oleh Hoshi et al. (1994) yang melakukan pengeringbekuan terhadap spermatozoa manusia. Sebelum melakukan pengeringbekuan, spermatozoa terlebih dahulu diseleksi dengan cara swim up dengan menempatkan cairan semen pada bagian dasar tabung yang berisi medium dan spermatozoa dibiarkan berenang ke permukaan medium. Spermatozoa yang mencapai permukaan medium diambil menggunakan pipet mikro dan dimasukkan ke dalam tabung untuk selanjutnya dibekukan pada suhu -80 oC.  Proses pengeringbekuan dilakukan dengan menggunakan mesin pengeringbekuan. Spermatozoa hasil pengeringbekuan dapat disimpan  di  dalam  desikator  dengan  suhu  4 oC  sebelum digunakan untuk penyuntikan mikro (Yanagida et al. 1991; Katayose et al. 1992). 
Selain spermatozoa manusia yang digunakan sebagai materi dalam proses pengeringbekuan juga digunakan spermatozoa hewan. Keskintepe et al. (2002) menggunakan semen beku sapi sebagai sumber spermatozoa dalam proses pengeringbekuan. Untuk membersihkan dan mendapatkan spermatozoa yang mempunyai motilitas terbaik maka semen dalam straw dikeluarkan dan diletakkan di bagian atas 1 ml medium HEPES-tyrode albumin lactate pyruvate (HEPES-TALP) yang mengandung enhance-S-plus (Conceptions Technologies Inc., San Diego, CA) dengan konsentrasi 45% pada lapisan atas dan 90% pada lapisan bawah tabung 15 ml. Selanjutnya dilakukan sentrifugasi pada kecepatan 1200 x g selama 15 menit.  Setelah sentrifugasi, sebanyak   0.5 ml medium pada lapis bawah tabung dipipet secara perlahan dan dipindahkan ke tabung 15 ml yang lain sebelum dicampurkan dengan 2 ml medium Hepes-TALP.  Sentrifugasi tahap kedua dilakukan pada kecepatan 300 x g selama empat menit. Spermatozoa hasil sentrifugasi tersebut selanjutnya diencerkan menggunakan modified dulbecco modified eagle medium (DMEM, 10315-026; Gibco) hingga mencapai konsentrasi spermatozoa 0.5 x 105/ml. Selanjutnya, sebanyak 100 μl suspensi spermatozoa dipipet dan dimasukkan ke dalam tabung mikro 1 ml dan dicelupkan ke dalam nitrogen cair. Tabung tersebut kemudian dikeluarkan dari nitrogen cair dan dipasang pada mesin pengeringbekuan  (FTS System Inc., Stone Ridge, NY) dengan suhu pre cooled -47 oC dan inlet pressure 190 x 103 mBar. Proses ini berlangsung selama 12-18 jam. Kemasan tersebut ditutup rapat dan disimpan pada suhu 4 oC selama satu sampai 3 bulan sebelum digunakan. 
Kaneko et al. (2003) menggunakan spermatozoa mencit sebagai materi dalam proses pengeringbekuan. Prosedur pengeringbekuan tersebut diawali dengan mengeluarkan spermatozoa yang masih berbentuk pasta dari epididimis lalu dimasukkan secara perlahan ke bagian dasar tabung yang mengandung 1 ml larutan penyangga EGTA Tris-HCl.  Selanjutnya tabung tersebut dihangatkan  pada  suhu       37 oC selama  10  menit  agar  spermatozoa  mengurai  dari kelompoknya dan bergerak ke arah permukaan larutan.  Hal ini merupakan salah satu bentuk seleksi spermatozoa dimana spermatozoa yang mampu mencapai permukaan larutan merupakan spermatozoa yang mempunyai motilitas terbaik.  Kemudian, sebanyak 800 µl larutan yang berada di bagian atas tabung diambil dan dimasukkan ke dalam ampul kaca berleher panjang. Pada proses pengeringbekuan, ampul yang berisi spermatozoa tersebut dicelup terlebih dahulu ke dalam nitrogen cair selama 20 detik lalu dihubungkan dengan mesin pengeringbekuan (Freeze-Dry Systems, Labconco, Kansas City, MO). Empat jam kemudian ampul ditutup dengan cara membakar bagian ujung ampul agar tidak terjadi kontaminasi dengan udara luar. Diupayakan tekanan udara yang berada pada ampul sekitar 30-33 x 10-3 mbar pada saat menutup ampul tersebut. Selanjutnya ampul tersebut disimpan pada suhu 4 oC sampai digunakan. 
Selain penggunaan berbagai sumber spermatozoa dalam proses pengeringbekuan, modifikasi teknik juga telah dilakukan untuk mendapatkan sediaan spermatozoa dalam bentuk kering melalui prosedur yang lebih sederhana, antara lain dilakukan oleh Mulyoto (Mulyoto 24 Januari 2003, komunikasi pribadi) dengan menggunakan gas nitrogen. Modifikasi yang dimaksud meliputi penyiapan suspensi spermatozoa dengan cara penghisapan ke dalam mini straw 0.25 ml sampai membentuk lapisan (sperm suspension layer) di dinding dalam mini straw. Kemudian ke dalam mini straw ditiupkan gas nitrogen (bukan nitrogen cair), sampai lapisan tersebut mengering. Setelah kering mini straw tersebut dibungkus dengan midi straw 0.5 ml yang salah satu ujungnya sudah ditutup. Sementara meniupkan gas nitrogen ke dalam midi straw, ujung midi straw yang lain ditutup bersamaan dengan mini straw sehingga kemasan tersebut rapat dan gas nitrogen terperangkap di dalamnya. Hal ini sangat penting agar kandungan oksigen di dalam kedua straw dapat ditekan seminimal mungkin bahkan sebaiknya tidak ada sama sekali agar proses oksidasi tidak terjadi.
Penggunaan spermatozoa hasil pengeringbekuan untuk membuahi oosit memberikan hasil yang menggembirakan dengan menggunakan teknik intracytoplasmic sperm injection (ICSI). Hal ini terbukti dengan lahirnya beberapa hewan hasil ICSI menggunakan spermatozoa hasil pengeringbekuan.  Nampaknya spermatozoa yang telah mengalami proses pengeringbekuan walaupun tidak hidup lagi tetapi integritas inti selnya masih tetap terjaga sehingga dapat mendukung perkembangan oosit lebih lanjut (Keskintepe et al. 2002).  Lebih lanjut dikatakan bahwa spermatozoa yang diinjeksi ke dalam oosit tidak perlu dalam kondisi hidup atau bergerak untuk mendukung perkembangan embrio yang normal. Goto et al. (1990) melaporkan lahirnya dua ekor anak sapi yang normal dari hasil injeksi oosit menggunakan spermatozoa yang dibekukan tanpa krioprotektan. 
Bukti lain dikemukakan oleh Said dan Niwa (2004) yang melaporkan bahwa spermatozoa yang diidentifikasi mati dengan uji viabilitas menggunakan sperm viability kit, masih mampu melakukan pembuahan normal setelah disuntikan ke dalam oosit dan selanjutnya tumbuh mencapai tahap blastosis.  Selain itu, ICSI yang dilakukan pada manusia umumnya menggunakan  spermatozoa yang terlebih dahulu diimobilisasi untuk mempermudah pelaksanaan penyuntikan sehingga keberhasilan ICSI secara nyata dapat ditingkatkan. Hal ini mungkin disebabkan semakin cepat membran plasma spermatozoa pecah maka semakin cepat pula proses penyatuan inti spermatozoa dengan sitoplasma oosit. Imobilisasi spermatozoa umumnya dilakukan dengan memotong ekor spermatozoa menggunakan pipet suntik dengan cara menekan sambil menggores ekor spermatozoa pada dasar cawan petri. Hal ini dilakukan sesaat sebelum penyuntikan agar spermatozoa menjadi tidak bergerak (immobile) sehingga operator dapat dengan mudah memasukkan spermatozoa ke dalam pipet suntik untuk selanjutnya disuntikkan ke dalam oosit (Boediono 2001). 
Kaneko et al. (2003) mengatakan bahwa proses pengeringbekuan dapat merusak komponen struktural spermatozoa. Semua spermatozoa terbukti mati setelah mengalami pengeringbekuan yang menggambarkan bahwa membran plasma spermatozoa mengalami kerusakan yang berat. Selain itu beberapa spermatozoa juga mengalami pemisahan antara bagian kepala dan ekor.  Hal ini mungkin menunjukkan bahwa bagian pertemuan ekor dan kepala spermatozoa sangat rapuh sehingga dengan sedikit goncangan fisik akan terputus. Namun demikian integritas genetik spermatozoa masih tetap terjaga yang dibuktikan melalui pemeriksaan kromosom dan kemampuan spermatozoa mendukung perkembangan oosit.                                                                                      
         Kusakabe et al. (2001) melaporkan bahwa perkembangan oosit pada hewan mencit yang disuntik spermatozoa hasil pengeringbekuan dapat berlangsung dengan baik.  Selain itu juga diperoleh bukti adanya aktivasi spontan pada oosit (hampir 90%) setelah penyuntikan kepala spermatozoa dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa molekul yang menyebabkan aktivasi pada spermatozoa tersebut tidak mengalami kerusakan pada proses pengeringbekuan. Lebih lanjut dikatakan bahwa spermatozoa mencit yang dilarutkan dalam pengencer yang tidak mengandung krioprotektan, lalu dicelup ke dalam nitrogen cair ternyata semua spermatozoa mati, hal ini dibuktikan dengan metode pewarnaan.  Namun demikian, pertumbuhan embrio yang normal dapat diperoleh dari oosit yang disuntik dengan kepala spermatozoa yang mati tersebut. Hal ini membuktikan bahwa asumsi tentang sel hidup dan nukleus hidup tidak sama (Wakayama & Yanagimachi 1998). 
Untuk mengoptimalkan upaya perlindungan terhadap inti spermatozoa selama proses pengeringbekuan, Kaneko et al. (2003) menggunakan larutan penyangga ethylene glycol-bis [beta-aminoethyl ether]-N,N,N’,N’-tetraacetic acid (EGTA) Tris-HCl sebagai medium pelarut spermatozoa mencit. Senyawa EGTA berfungsi menekan fungsi kation bivalen yang mendukung kerja enzim endonuklease, sehingga proses pemutusan ikatan fosfodiester pada DNA oleh enzim endonuklease tidak terjadi (Clark & Eichhorn 1974). Selain itu, perlindungan terhadap inti spermatozoa juga dapat dilakukan dengan mengatur pH medium pelarut spermatozoa. Enzim DNAse I berfungsi optimal pada pH 7 dan stabil pada pH 5-6 sehingga jika dipapar pada medium dengan pH tinggi aktivitas enzim tersebut dalam merusak struktur DNA akan terganggu (Kaneko et al. 2003). Selanjutnya dilaporkan bahwa pelarut spermatozoa pada saat pengeringbekuan dengan pH 8.0 akan mampu mempertahankan integritas kromosom dan perkembangan spermatozoa lebih lanjut. Sedangkan, Kusakabe et al. (2001) melakukan percobaan pada hewan mencit dengan menggunakan tiga macam media pelarut spermatozoa sebelum melakukan proses pengeringbekuan. Pelarut tersebut adalah penyangga NaCl/EGTA Tris-HCl, medium CZB dan medium Hepes-CZB. Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa penyangga NaCl/EGTA Tris-HCl memberikan hasil yang lebih baik dalam hal memberikan perlindungan kepada DNA spermatozoa. 
Daya tahan inti spermatozoa terhadap suhu rendah telah dibuktikan dengan lahirnya beberapa anak hasil inseminasi  dengan menggunakan spermatozoa beku (Watson 1990).  Selain itu, spermatozoa juga tahan terhadap suhu panas, bahkan spermatozoa yang dipapar pada suhu 90 oC selama 30 menit pun masih mampu membentuk pronukleus (Yanagida et al. 1991). Daya tahan inti spermatozoa terhadap proses pengeringan telah dibuktikan pula melalui pengeringbekuan spermatozoa manusia yang dilanjutkan dengan penyimpanan di dalam desikator selama beberapa bulan masih mampu mendukung pembentukan pronukleus (Katayose et al. 1992).

DAFTAR PUSTAKA

Boediono A. 2001. Sperm immobilization prior to intracytoplasmic sperm injection (ICSI) and oocyte activation improves early development of microfertilized goat oocytes. Reprotech 1 (1):29-34.
Clark P, Eichhorn GL. 1974.  A predictable modification of enzyme specificity. Selective alteration of DNA bases by metal ions to promote cleavage specificity by deoxyribonuclease. Biochemistry 13:5098-5102.
Cohen J, Aikani M, Munne S, Palermo GD. 1994. Micromanipulation in clinical management of fertility disorders. Seminar in Reproductive Endocrinology, 12:151-168.
Commercial Freeze Dry. 2003. The freeze-drying process. http://www. commercialfreezedry.co.uk/process.html. [9 Juni 2003].
Dozortzev D, Rybouchkin A, Sutter P, Qian C, Dhont M. 1995. Human oocyte activation following intracytoplasmic sperm injection: the role of the sperm cell. Hum Reprod 10:403-407.
Flaherty SP, Matthews CD. 1995. Introduction in Sympossium on Intracytoplasmic Sperm Injection. Reprod Fertil Dev  7:135-136.
Gilbert SF.  1994.  Developmental Biology. Ed ke-4. Massachusetts: Sinauer Associates Inc.
Gomez MC, Catt JW, Evans G, Maxwell WMC.  1998.  Cleavage, development and competence of sheep embryos fertilized by intracytoplasmic sperm injection and in vitro fertilization.  Theriogenology  49:1143-1154.
Gomez MC, Catt JW, Gillan L, Evans G, Maxwell WMC.  1997.  Effect of culture, incubation and acrosome reaction of fresh and frozen-thawed ram spermatozoa for in vitro fertilization and intracytoplasmic sperm injection.  Reprod Fertil Dev 9:665-673.
Gordon I.  1994.  Laboratory Production of Cattle Embryos.  UK: CAB International.
Goto K, Kinoshita A, Takuma Y, Ogawa K. 1990.  Fertilization of bovine oocytes by the injection of immobilized, killed spermatozoa. Vet Rec 127:517-520.
Hoshi K, Yanagida K, Katayose H, Yazawa H. 1994.  Pronuclear formation and cleavage of mammalian eggs after microsurgical injection of freeze-dried sperm nuclei. Zygote 2:237-242.
Kamal A, Mansour RT, Aboulghar MA. 1997. Pregnancy after ICSI using cryo-thawed epididymal and testicular spermatozoa. J Mid East Fertil Soc  2:30-34.
Kaneko T, Whittingham DG, Yanagimachi R.  2003.  Effect of pH value of freeze-drying solution on the chromosome integrity and developmental ability of mouse spermatozoa. Biol Reprod  68:136-139.
Katayose H, Matsuda J, Yanagimachi R. 1992. The ability of dehydrated hamster and human sperm nuclei to develop into pronuclei.  Biol Reprod  47:277-284.
Keskintepe L, Pacholczyk G, Machnicka A, Norris K, Curuk MA, Khan I, Brackett BG.  2002. Bovine blastocyst development from oocytes injected with freeze-dried spermatozoa. Biol Reprod  67:409-415.
Kuretake S, Kimura Y, Hoshi K, Yanagimachi R.  1996.  Fertilization and development of mouse oocytes injected with isolated sperm head. Biol Reprod  55:789-795.
Kusakabe H, Szczygiel MA, Whittingham DG, Yanagimachi R. 2001.  Maintenance of genetic integrity in frozen and freeze-dried mouse spermatozoa. PNAS 98:13501-13506.
Lundin K, Sjogren A, Hamburger L. 1996. Reinsemination of one-day-old oocytes by use of intracytoplasmic sperm injection. Fertil Steril 66:118-121.
Mansour RT, Aboulghar MA, Serour GI. 1994. Study of the optimum time for human chorionic gonadotropin-ovum pick-up interval in in vitro fertilization. J Ass Reprod Gen 11:428-481.
Nagy ZP, Liu J, Joris H, Verheyen G, Tournayr H, Camus M, Derde MC.  1995.  The result of intracytoplasmic sperm injection is not related to any of the three basic sperm parameters. Hum Reprod 10:1123-1129.
Palermo G, Joris H, Devroey P, van Steirteghem AC. 1992. Pregnancies after  intracytoplasmic injection of single spermatozoon into an oocyte. Lancet, 340:17-18.
Palermo G, Joris H, Derde MP, Camus M, Devroey P, van Steirteghem AC. 1993. Sperm characteristics and outcome of human assisted fertilization by subzonal insemination and intracytoplasmic sperm injection. Fertil Steril 59:826-835.
Partodihardjo S. 1987. Ilmu Reproduksi Hewan (Edisi Kedua). Mutiara Sumber Widya, Jakarta.
Rifai MA.  2002.  Kamus Biologi. Ed.ke-2. Jakarta: Balai Pustaka.
Said S, Niwa K. 2004.  Pembuahan dan perkembangan oosit tikus setelah disuntik spermatozoa mati.  Hayati 11:135-138.
Said S, Saili T, Tappa B. 2003.  Pengaktifan dan pembuahan oosit tikus setelah disuntik dengan kepala spermatozoa.  Hayati 10:96-99.
Saili T, Bain A, Nafiu L.  1998.  Kemajuan dalam teknologi kloning. Majalah Ilmiah Agriplus. Edisi Nomor 20, Tahun VIII Januari 1998. Hal. 48-53. Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari
Silber SJ, Nagy ZP, Liu J. 1994. Conventional in-vitro fertilization versus intracytoplasmic sperm injection for patients requiring microsurgical sperm aspiration. Hum Reprod  9:1705-1709.
Wakayama T, Yanagimachi R. 1998. Development of normal mice from oocytes injected with freeze-dried spermatozoa. Nat Biotech 16:639-641.
Watson PF.  1990.  Artificial insemination and the preservation of semen. Di dalam: Lemming, editor. Marshall’s Physiology of Reproduction. Edinburgh: Churchill Livingston. hlm 747-869. 
Yanagida K, Yanagimachi R, Perreault SD, Kleinfeld RG. 1991.  Thermostability of sperm nuclei assessed by microinjection into hamster oocytes. Biol Reprod  44:440-447.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar