Rabu, 18 November 2015

PENGARUH PEMBERIAN UBI HUTAN ( Dioscorea Hispida Dennst ) DAN TEPUNG DAUN SALAM ( Syzygium polyanthum (Wight) Walp.) DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMANS AYAM KAMPUNG PEDAGING UMUR 1 – 60 HARI



PENGARUH PEMBERIAN UBI HUTAN ( Dioscorea Hispida Dennst ) DAN TEPUNG DAUN SALAM ( Syzygium polyanthum (Wight) Walp.) DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMANS AYAM KAMPUNG PEDAGING UMUR 1 – 60 HARI


OLEH :

GORISMAN MATUALESI
L1A1 13 009


KELAS A



JURUSAN PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2015
 

Permasalahan
Ransum merupakan campuran dari beberapa bahan ransum yang mengandung beberapa nutrient dengan cara tertentu untuk memenuhi kebutuhan zat gizi unggas yang mengkomsumsinya. Kualitas bahan ransum yang baik harus ada keseimbangan antara protein, energi, vitamin, mineral, dan air. Keterbatasan yang dimiliki pelaku usaha peternakan terhadap sumber daya yang dimiliki dalam memenuhi kebutuhan ransum menjadi sangat penting untuk dioptimalkan dengan menggunakan pakan lokal dalam pemanfaatan ransum ternak. Bahan pakan lokal dapat digunakan untuk pembuatan pakan ayam kampung ini diantaranya ubi hutan dan daun salam. Pemanfaatan suatu bahan pakan perlu mempertimbangkan jumlah ketersediaan, kandungan gizi, harga dan kemungkinan adanya faktor pembatas seperti zat anti nutrisi atau racun dalam bahan tersebut. Dengan adanya pakan local ini peternak dapat menghemat biaya pakan dan ternak bisa memenuhi kebutuhan nutrisinya.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dapat ditulis pada penelitian ini yaitu apakah dengan pemberian Ubi Hutan (Dioscorea hispida Dennst.) dan Tepung Daun Salam (Syzygium polyanthum (Wight) Walp.) dalam ransum dapat mempengaruhi performans ayam kampung pedaging umur 1 – 60 hari ?
Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui apakah dengan pemberian Ubi Hutan (Dioscorea hispida Dennst.) dan Tepung Daun Salam (Syzygium polyanthum (Wight) Walp.) dalam ransum dapat berpengaruh pada performans ayam kampung pedaging umur 1 – 60 hari.




II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Ayam Kampung
Ayam kampung merupakan salah satu jenis ternak unggas yang telah memasyarakat dan tersebar di seluruh pelosok nusantara. Bagi masyarakat Indonesia, ayam kampung sudah bukan hal asing. Istilah "Ayam kampung" semula adalah kebalikan dari istilah "ayam ras", dan sebutan ini mengacu pada ayam yang ditemukan berkeliaran bebas di sekitar perumahan. Namun demikian, semenjak dilakukan program pengembangan, pemurnian, dan pemuliaan beberapa ayam lokal unggul, saat ini dikenal pula beberapa ras unggul ayam kampung. Untuk membedakannya kini dikenal istilah ayam buras singkatan dari "ayam bukan ras" bagi ayam kampung yang telah diseleksi dan dipelihara dengan perbaikan teknik budidaya, tidak sekadar diumbar dan dibiarkan mencari makan sendiri. Peternakan ayam buras mempunyai peranan yang cukup besar dalam mendukung ekonomi masyarakat pedesaan karena memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan dan pemeliharaannya relatif lebih mudah (Suprijatna et al, 2005).

B. Ransum Ayam 
Ransum merupakan pakan jadi yang siap diberikan pada ternak yang disusun dari berbagai jenis bahan pakan yang sudah dihitung (dikalkulasi) sebelumnya berdasarkan kebutuhan nutrisi dan energi yang diperlukan. Berdasarkan bentuknya, ransum dibagi menjadi tiga jenis yaitu mash, pelet, dan crumble (Alamsyah, 2005).
1.      Ransum bentuk mash, adalah bentuk ransum paling sederhana yang merupakan campuran serbuk (tepung) dan granula berbagai jenis bahan baku pakan.
2.      Ransum bentuk pelet, adalah bentuk ransum yang berasal dari berbagai bahan pakan dengan perbandingan komposisi yang diolah dengan menggunakan mesin pelet (pelletizer) dengan tujuan mengurangi loss nutrisi dan dalam bentuk utuh.
3.      Ransum bentuk crumble, adalah ransum bentuk pelet yang pecah menjadi 2 atau 3 bagian dengan tujuan agar bisa dimakan oleh ternak.
Kebutuhan nutrisi ayam pedaging membutuhkan unsur-unsur protein, energi, vitamin, mineral, air, dan unsur lainnya. Semua unsur gizi itu saling terkait satu sama lain dan saling mempengaruhi. Kebutuhan unsur gizi ada batasnya. Batas ini berkisar pada nilai minimum dan maksimum, bila melampaui batas akan terjadi kelainan pada anak ayam. 
Bahan baku pakan merupakan unsur penting (esensial) untuk diperhatikan dalam penyusunan formulasi ransum karena hasilnya akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan. Ransum yang dibuat harus terkomposisi atau terbuat dari bahan yang mempunyai kandungan nutrisi yang lengkap.
Kandungan nutrisi itu meliputi protein, lemak, serat kasar, mineral, energi yang diperlukan dan lainnya. Penggunaan bahan pakan atau komposisinya dilakukan sedemikian rupa guna memperoleh hasil yang maksimal seperti:
1.      Laju pertumbuhan karkas.
2.      Laju produksi telur.
3.      Ketahanan terhadap penyakit.
4.      Ketahanan terhadap kondisi lingkungan.
5.      Palatabilitas, dan  6. Tingkat kecernaan yang baik.
Pengolahan bahan pakan dalam jumlah cukup besar, perlu diperhatikan informasi tentang keberadaan bahan baku yang digunakan. Bahan baku pakan yang digunakan hendaknya memenuhi beberapa persyaratan berupa:
1.      Mengandung nilai nutrisi tinggi.
2.      Mudah diperoleh.
3.      Mudah diolah.
4.      Tidak mengandung racun             (anti nutrisi).
5.      Harga murah dan terjangkau.
6.      Diusahakan bukan bahan makanan pokok manusia, dan
7.      Butirannya halus   atau bisa dihaluskan.

C. Ubi Hutan (Dioscorea hispida Dennst.)
Ubi hutan berbatang merambat dan memanjat, panjangnya mencapai 5–20 m. Arah rambatannya selalu berputar ke kiri (melawan arah jarum jam, jika dilihat dari atas). Ciri khas ini penting untuk membedakannya dari gembili (D. aculeata) yang memiliki penampilan mirip namun batangnya berputar ke kanan. Batangnya kurus ramping, setebal 0,5–1 cm, ditumbuhi duri atau tidak, hijau keabu-abuan. Daun-daunnya terletak berseling, dengan tiga anak daun menjari, bentuk bundar telur atau bundar telur sungsang, tipis seperti kertas. Bunga jantan terkumpul dalam tandan di ketiak daun, bunga betina majemuk berbentuk bulir (Anonim, 2011). 
Menurut Nurbaya, peneliti gizi dari Politekes Mamuju, Sulawesi Barat, dibanding beras atau singkong,  nilai gizi ubi hutan sebenarnya lebih rendah tetapi kandungan serat dan kalsium tinggi. Total energi sikapa 100 Kal, karbohidrat 23,5 gr, protein 0.9 gr dan lemak 0,3.
“Kandungan energi memang sedikit, lebih rendah dibandingkan singkong. Namun kandungan serat jauh lebih tinggi 2,1 gr, dibandingkan singkong hanya 0,9 dan  beras 0,2. Kandungan serat tinggi inilah yang memperlambat penyerapan gula dalam darah. Sangat baik untuk penderita diabetes mellitus.”
Sikapa juga mengandung kalsium sangat tinggi yaitu 79 mg. Kalsium ini untuk kesehatan tulang dan gigi terutama pada masa pertumbuhan.

Ubi hutan mengandung karbohidrat, lemak, serat kasar, dan abu lebih rendah dibandingkan dengan ketela pohon. Kandungan air dan protein ubi hutan lebih tinggi dibandingkan ketela pohon. Ubi hutan mengandung fosfor sebanyak 0,09%, kalsium (CaO) 0,07% dan besi 0,003%. Komposisi kimia umbi hutan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1.  Komposisi Kimia Ubi Hutan (Fajriyati, 2012)
Komponen
Komposisi (%)
Air
Karbohidrat
Lemak
Protein
Serat kasar
Kadar abu
Diosgenin
Dioscorin
78
18
0,16
1,81
0,93
0,69
0,20-0,70(db)
0,044(db)
 
Umbi gadung mengandung alkaloid dioscorin (C13H19O2N) yang bersifat racun dan dioscorin yang tidak beracun. Alkaloid juga dijumpai pada dioscorea lainnya. Disamping itu umbi gadung juga mengandung sejumlah saponin yang sebagian besar berupa  dioscin yang bersifat racun.  Efek keracunan gadung mula-mula terasa tidak enak dikerongkongan, pening, kemudian muntah darah, terasa tercekik dan kepayahan (Deptan, 2012). Walaupun beracun ubi gadung juga bisa digunakan sebagai obat-obatan seperti obat kusta, penurun panas, mengurangi nyeri dan kencing manis inilah beberapa manfaat ubi gadung (Putra, 2011).

D. Daun Salam (Syzygium polyanthum (Wight) Walp.)
Daun salam  yang memiliki nama latin Syzygium polyanthum (Wight) Walp.  adalah salah satu tanaman herbal yang memilki kemampuan untuk menyembuhkan penyakit diare (Sangat et al., 2000). Minyak atsiri, triterpenoid, saponin, fl avonoid, dan tanin adalah beberapa senyawa yang terkandung dalam daun salam (Davidson & Branen, 1993) yang memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri patogen, seperti Salmonella sp., Bacillus cereus, B. Subtilis, Staphylococcus aureus, E. coli dan Pseudomonas fl uorescens (Setiawan, 2002). Daun salam mempunyai efek yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri penyebab diare (Sangat et al., 2000; Setiawaty, 2003).
Hermana et al. (2008) menyatakan bahwa tepung daun salam mempunyai bahan kering sebesar 95,02%m abu 4,86%, lemak kasar 4,53%, protein kasar 1,28%, serat kasar 20,39%, kalsium 1,13%, fosfor 0,71%, saponin 95,27 ppm dan tanin total 7,62%. Pemberian tepung daun salam hingga taraf 3% pada ayam broiler yang diinfeksi dengan bakteri E. coli cenderung menekan jumlah koloni bakteri E. coli dalam ekskreta. Hal ini berarti bahwa kandungan daun salam seperti minyak atsiri, tanin, flavonoid dan saponin berfungsi sebagai antibakteri, sehingga semakin tinggi penggunaan daun salam dalam ransum akan menghasilkan daya hambat bakteri yang lebih tinggi (Hermana et al., 2008).

Kerangka Pikir
Ransum merupakan pakan jadi yang siap diberikan pada ternak yang disusun dari berbagai jenis bahan pakan yang sudah dihitung (dikalkulasi) sebelumnya berdasarkan kebutuhan nutrisi dan energi yang diperlukan. Berdasarkan bentuknya.
Ubi hutan memiliki kandungan energi memang sedikit, lebih rendah dibandingkan singkong. Namun kandungan serat jauh lebih tinggi 2,1 gr, dibandingkan singkong hanya 0,9 dan  beras 0,2. Kandungan serat tinggi inilah yang memperlambat penyerapan gula dalam darah. Sangat baik untuk penderita diabetes mellitus.”Ubi hutan juga mengandung kalsium sangat tinggi yaitu 79 mg. Kalsium ini untuk kesehatan tulang dan gigi terutama pada masa pertumbuhan.
Tepung daun salam mempunyai bahan kering sebesar 95,02%m abu 4,86%, lemak kasar 4,53%, protein kasar 1,28%, serat kasar 20,39%, kalsium 1,13%, fosfor 0,71%, saponin 95,27 ppm dan tanin total 7,62%. Pemberian tepung daun salam hingga taraf 3% pada ayam broiler yang diinfeksi dengan bakteri E. coli cenderung menekan jumlah koloni bakteri E. coli dalam ekskreta. Hal ini berarti bahwa kandungan daun salam seperti minyak atsiri, tanin, flavonoid dan saponin berfungsi sebagai antibakteri, sehingga semakin tinggi penggunaan daun salam dalam ransum akan menghasilkan daya hambat bakteri yang lebih tinggi.
Dengan menggunakan pakan local pada unggas, peternak dapat menghemat biaya untuk pembelian pakan dengan meramu sendiri dengan menggunakan ubi hutan dan daun salam jika penelitian ini sudah terpecahkan kandungan nutrisi apa yang penting untuk pertumbuhan ayam kampung pedaging maka peternak tidak akan susah lagi dalam pemberian pakan, karena pakan ubi hutan dan daun salam ini tersedia melimpah di berbagai daerah di Indonesia

Hipotesis
Dengan pemberian Ubi Hutan (Dioscorea hispida Dennst.) dan Tepung Daun Salam (Syzygium polyanthum (Wight) Walp.) dalam ransum sangat berpengaruh nyata terhadap performans ayam kampung pedaging umur 1 – 60 hari.









DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kehutanan, 2012, Umbi-Umbian (Gadung), http://ntb.litbang.deptan.go.id/ind/ infotek/gadung.pdf, Diakses pada tanggal 15 September, 2015.
Safithri, M., Bintang, M., & Poeloengan, M. 2011. Antibacterial Activity of Garlic Extract Against some Pathogenic Animal Bacteria. Med. Pet. 34: 155-158.
Setiaji, D. & Sudarman, A. 2005. Ekstrak Daun Beluntas (Pluchea indica less.) sebagai Obat Antistres pada Ayam Broiler. Med. Pet. 28: 46-51.
Sudarman, A., Sumiati & Solikhah, S. H. 2011. Performance and Meat Cholestrol Content of Broiler Chickens Fed Pluchea indica L. Leaf meal Reared under Stress Condition. Med. Pet. 34 : 64-68.
Taena, J., 2011, Warga Kota Waingapu, NTT Makan Ubi Hutan, http://m.tribunnews.com/ 2011/08/17/warga-kota-waingapu-ntt-makan-ubi-hutan, Diakses pada tanggal 15 September 2015.
Wiryawan, K. G., Suharti, S. & Bintang, M. 2005. Kajian Antibakteri Temulawak, Jahe dan Bawang Putih terhadap Salmonella typhimurium serta Pengaruh Bawang Putih terhadap Performans dan Respon Imun Ayam Pedaging. Med. Pet. 22 : 52-62.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar