Selasa, 03 Mei 2016

Prospek Usaha Penggemukan Sapi Potong Di Sulawesi Tenggara



Tugas Individu

MANAJEMEN PENGGEMUKAN

Prospek Usaha Penggemukan Sapi Potong Di Sulawesi Tenggara



OLEH :

GORISMAN MATUALESI
L1A1 13 009


KELAS A


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2016
I.         PENDAHULUAN
1.1.    Latar Belakang
Kebutuhan daging sapi sebagai salah satu sumber protein hewani semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya gizi yang seimbang, pertambahan penduduk dan meningkatnya daya beli masyarakat.
Sapi potong merupakan komoditas unggulan di sektor peternakan, karena pada tahun  2003 saja telah mampu menyumbang 66 % atau lebih 350.000 ton dari total produksi daging dalam negeri yang sebesar lebih 530.000 ton (Aryogi dan Didi, 2007). Namun demikian, kemampuan produksi daging sapi dalam negeri tersebut belum mampu mencukupi kebutuhan nasional, sehingga menyebabkan impor sapi hidup, daging sapi maupun jeroan sapi masih terus tinggi.
Sebagai gambaran pentingnya peternakan sapi di Indonesia adalah masih tergantungnya dari suplai Luar Negeri. Untuk memenuhi kebutuhan daging serta sapi bakalan yang akan digemukkan oleh feedloter sampai saat ini masih tergantung pada impor. Data Asosiasi Produsen Daging dan Feedloter Indonesia (APFINDO) menunjukkan bahwa tidak kurang dari 200.000 ekor sapi bakalan per tahun diimpor dari luar negeri, bahkan sumber lain menyebutkan sampai mencapai 400.000 ekor per tahun.
Ternak sapi memiliki peran penting dan peluang pasar yang menggembirakan karena merupakan ternak unggulan penghasil daging nasional. Di beberapa daerah, pemeliharaan sapi dilakukan secara terpadu dengan tanaman yang dikenal dengan sistem integrasi ternak-tanaman.
Sulawesi Tenggara merupakan salah satu daerah yang potensial untuk pegembangan peternakan sapi potong, hanya saja emeliharaan sapi umumnya diusahakan secara tradisional atau sambilan sehingga produktivitasnya rendah. Oleh karena itu, upaya untuk memberdayakan petani-peternak sapi di wilayah tersebut penting dilakukan karena memelihara sapi banyak dilakukan oleh petani-peternak setempat. Pengembangan usaha ternak perlu ditunjang dengan kebijakan pemerintah yang relevan sehingga memberikan dampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan petani-peternak.
Selain sebagai sumber pendapatan tambahan melalui penjualan pupuk kompos dan penyewaan tenaga kerja ternak. Pengembangan usaha ternak sapi dapat dilakukan dengan memberdayakan sumber daya lokal.
1.2.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana potensi pengembangan peternakan sapi potong di Sulawesi Tenggara?
2.      Bagaimana permasalahan atau tantangan pengembangan peternakan sapi potong di Sulawesi Tenggara?
3.      Bagaimana strategi atau kebijakan tentang pengembangan peternakan sapi potong di Sulawesi Tenggara?

1.3.    Tujuan dan Manfaat
Tujuan yang ingin dicapai dari penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana prospek pengembangan peternakan sapi potong secara umum dan terkhusus di daerah Sulawesi Tenggara.
Manfaat yang dapat diperoleh dari makalah ini adalah member informasi mengenai sapi potong serta prospek pengembangannya.


II.      PEMBAHASAN
2.1.    Potensi Peternakan Sapi Potong di Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tenggara memiliki potensi yang besar untuk pengembangan usaha ternak sapi karena didukung oleh sumber daya alam yaitu lahan dan pakan, sumber daya manusia, serta peluang pasar yang memadai. Ternak sapi mempunyai prospek dan potensi pasar yang cerah. Selain memberikan tambahan pendapatan bagi petani-peternak, usaha ternak sapi juga merupakan sumber pendapatan daerah melalui perdagangan antarprovinsi dan antarpulau, antara lain ke Maluku, Papua, Jawa (Jakarta), dan Kalimantan Timur (Dinas Pertanian Provinsi Sulawesi Tenggara 2005).
Kebutuhan daging sapi terus meningkat seiring makin baiknya kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi yang seimbang, pertambahan penduduk, dan meningkatnya daya beli masyarakat. Salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri yaitu dengan meningkatkan populasi, produksi, dan produktivitas sapi potong.
Volume impor sapi potong dan produk olahannya cukup besar, setara dengan 600−700 ekor/tahun (Bamualim et al. 2008). Neraca kebutuhan daging sapi yang dihitung berdasarkan asumsi pertumbuhan penduduk. Ditinjau dari sisi potensi yang ada, Sulawesi Tenggara selayaknya mampu memenuhi kebutuhan pangan asal ternak dan berpotensi menjadi pengekspor produk peternakan. Hal tersebut dimungkinkan karena didukung oleh ketersediaan sumber daya ternak dan peternak, lahan dengan berbagai jenis tanaman pakan, produk sampingan industri pertanian sebagai sumber pakan, serta ketersediaan inovasi teknologi.
Pengembangan usaha peternakan di Sulawesi Tenggara bertujuan untuk meningkatkan populasi dan produksi ternak sehinnga mampu menyediakan protein hewani asal ternak seperti daging, telur, susu, untuk dikonsumsi kegutuhan daerah sendiri maupun propinsi tetangga. Ada beberapa Faktor yang mendukung pengembangan usaha peternakan di Sulawesi Tenggara yaitu :
2.1.1. Sumber Daya Alam
Sulawesi Tenggara memiliki sumber daya alam yang cukup untuk meningkatkan ekonomi masyarakat terutama pada sektor pertanian, pariwisata, pertambangan dan energi. Dilihat dari beberapa sektor mata pencarian disektor pertanian mendekati separo, yaitu lebih kurang 48% dan sisanya adalah mata pencarian disektor perdagangan, hotel/restoran dan industri.
Bila dilihat dari ketersediaan lahan untuk mengembangkan ternak besar pada dasarnya dapat menampung ternak besar, sedangkan populasi ternak besar saat ini berjumlah 902.144 ekor sapi (sapi dan Kerbau). Hal ini menggambarkan bahwa masih tersedia lahan yang cukup luas untuk pengembangan ternak besar. Sulawesi Tenggara yang memiliki curah hujah yang cukup, telah menjadikan tanahnya subur untuk ditumbuhi rumput hijauan pakan ternak dan juga tersdia limbah pertanian seperti daun jagung, jerami, dan lain - lain.
2.1.2. Sumber Daya Manusia
Dukungan Sumber Daya Manusia dalam pengembangan sapi potong cukup tersedia, sebahagian besar peternak sudah berpengalaman dan terampil dalam membudidayakan sapi potong, sedangkan disisi lain aparatur pelayanan juga sudah berpengalaman dan trampil serta senantiasa siap memberikan pelayanan di lapangan seperti inseminator, petugas PKB, (Pemeriksa Kebuntingan), Petugas ATR, Recorder, Handling Semen, Embryo Transfer (ET), Juru Keswan dan Paramedis.
2.1.3. Dukungan Infra Struktur (Sarana/Prasarana)
Dalam menyongsong tumbuhnya usaha-usaha baru dan mendorong berkembangnya usaha yang telah ada, pemerintah telah menyediakan dukungan infra struktur (sarana dan prasarana) untuk pelayanan IB, pelayanan Keswan, Pelayanan Pemotongan Hewan Ternak dan Pelayanan dan Pelayanan Pasar Ternak.
Jika potensi lahan yang ada dapat dimanfaatkan 50% saja maka jumlah ternak yang dapat ditampung mencapai 29 juta satuan ternak (ST). Belum lagi kalau padang rumput alam yang ada diperbaiki dan ditingkatkan kualitasnya dengan menggunakan rumput unggul sehingga daya tampungnya meningkat secara nyata (Bamualim et al. 2008).
Pengembangan industri sapi potong mempunyai prospek yang sangat baik dengan memanfaatkan sumber daya lahan maupun sumber daya pakan (limbah pertanian dan perkebunan) yang tersedia terutama di daerah Sulawesi Tenggara. Potensi lahan pertanian yang belum dimanfaatkan masih sangat luas, termasuk lahan gambut dan lebak (Rustijarno dan Sudaryanto 2006). Namun, kenyataan menunjukkan pengembangan sapi potong belum mampu memenuhi kebutuhan daging dalam negeri, selain rentan terhadap serangan penyakit.
Hal ini kemungkinan disebabkan adanya berbagai kelemahan dalam sistem pengembangan peternakan. Oleh karena itu, perlu dirumuskan model pengembangan dan kelembagaan usaha ternak sapi potong yang tepat, berbasis masyarakat, dan secara ekonomi menguntungkan. Semua sumber daya yang ada dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan produk peternakan yang berkualitas, terjangkau, dan bersaing dengan produk sejenis dari luar negeri sekaligus meningkatkan kesejahteraan peternak (Bamualim et al. 2008). Perkiraan produksi, kebutuhan, neraca dan populasi ideal sapi potong Indonesia tahun 2005−2010.
Usaha ternak sapi secara tradisional dikelola peternak dan anggota keluarganya dan menjadi tumpuan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Pengembangan usaha ternak sapi sebagai usaha keluarga dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling terkait, antara lain pendidikan, penggunaan input, pemasaran, kredit, kebijakan, perencanaan, penyuluhan, dan penelitian (Pambudy, 1999). Pendidikan anggota rumah tangga dapat mempengaruhi keputusan produksi. Chavas et al. (2005) dalam penelitiannya memasukkan pendidikan dalam menganalisis karakteristik rumah tangga dan usaha tani.
2.2.     Permasalahan/Kendala Peternakan Sapi Potong di Sulawesi Tenggara
Terdapat beberapa kendala yang akan dihadapi saat dilakukan upaya pengembangan sapi potong yaitu antara lain:
1.      Sistem pemeliharaan sapi potong di Sulawesi Tenggara kebanyakan masih secara tradisional.
2.      Peterrnak-peternak sapi kebanyakan tidak melakukan sistem seleksi yang benar dalam pemeliharaan sapinya.
3.      Kurangnya pemanfaatan lahan untuk ditanamai hijauan makanan ternak, sehingga terkendala dalam penyediaan pakan.
4.      Kurangnya penyuluhan dari dinas terkait mengenai pengembanagn peternakan sapi potong.
5.      Peternak rakyat kebanyakan tidak melakukan perawatan kesehatan seperti vaksinasi yang rutin sehingga ternaknya mudah terkena penyakit.
6.      Masih kuatnya anggapan para peternak rakyat bahwa sapi potong lokal mempunyai produktivitas yang rendah atau secara ekonomis kalah jauh dibandingkan dengan sapi potong silangan. Akibatnya minat peternak memelihara sapi potong lokal semakin menurun diganti dengan pemeliharaan sapi silangan.
7.      Belum adanya aplikasi praktis peraturan formal guna melindungi dan mengembangkan jumlah populasi dan luasan areal penyebaran sapi potong lokal.
8.      Lokasi budidaya yang terpencil dengan skala pemilikan yang sangat rendah.
9.      Belum adanya data tentang peta penyebaran dan jumlah populasi, serta produktivitas sapi.



2.2.1. Faktor ketersediaan bakalan
1.      Terjadinya penurunan populasi di seluruh sumber sapi potong
2.      Rendahnya produktivitas sapi local
3.      Penyebaran lokasi sapi lokal, sehingga sulit dalam pengelolaan dan koordinasi.
4.      Belum tersedianya suatu instansi atau perusahaan yang menyediakan bibit, sebab masalah persediaan bibit merupakan tanggung jawab pemerintah atau industry bukannya dibebankan pada peternakan rakyat.

2.2.2. Faktor ekonomi
1.      Penurunan daya beli masyarakat.
2.      Ternak potong belum menjadi usaha yang diminati untuk dibiayai oleh perbankan, serta tidak menarik bagi investor. Hal ini disebabkan oleh:
-          Tingkat resiko usaha yang lebih tinggi dibanding usaha lainnya (struktur tataniaga belum tertata rapih)
-          Investasi dibutuhkan cukup besar dan nilai itu ada pada sapinya
-          Teknologi pascapanen belum cukup memadai
-          ndustri sapi potong sebagian besar dilakukan secara tradisional
3.      Belum adanya sistem kredit yang memang benar diperuntukkan untuk subsector peternakan khususnya sapi potong.
4.      Masih tingginya country risk Indonesia.
2.2.3. Faktor kebijakan
1.      Belum adanya program pemerintah yang tepat sasaran, tepat guna dan  berkesinambungan serta berdaya saing tinggi.
2.      Terjadinya benturan kepentingan antar departemen maupun antar subsektor dalam satu departemen diantaranya PPN sapi bibit bakalan, Badan Karantina dan adanya PP no 49 th. 2002.
3.      Pelaksana otonomi daerah yang bervariasi di masing-masing daerah
4.      Belum akuratnya data populasi sapi potong di Indonesia sehingga sulit untuk memprediksi supply dan demand sapi potong di Indonesia
5.      Penentuan daerah penghasil bibit, daerah penghasil sapi potong dan daerah penerima belum ada rambu-rambu yang jelas.
6.      Kontrol arus keluar masuknya ternak dari masing-masing daerah sangat lemah.

2.2.4. Faktor SDM peternakan
Rendahnya kepekaan insan peternakan (Lembaga Penelitian Pemerintah, Lembaga Pendidikan, Pelaku usaha, Petani) terhadap penurunan populasi sapi potong.
2.3.    Strategi/Kebijakan Pengembangan Peternakan Sapi Potong
Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan produktivitas, produksi maupun populasi sapi potong dalam rangka mendukung program kecukupan daging (PKD) 2010, yang direvisi menjadi 2014. Produksi daging dalam negeri diharapkan mampu memenuhi 90−95% kebutuhan daging nasional. Karena itu, pengembangan sapi potong perlu dilakukan melalui pendekatan usaha yang berkelanjutan, didukung dengan industri pakan yang mengoptimalkan pemanfaatan bahan pakan lokal spesifik lokasi melalui pola yang terintegrasi. Hingga kini, upaya pengembangan sapi potong belum mampu memenuhi kebutuhan daging dalam negeri, selain rentan terhadap serangan penyakit.
Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai kelemahan dalam sistem pengembangan peternakan. Oleh karena itu, perlu diupayakan model pengembangan dan kelembagaan yang tepat berbasis masyarakat dan secara ekonomi menguntungkan. Pemerintah sebaiknya menyerahkan pengembangan peternakan ke depan kepada masyarakat melalui mekanisme pasar bebas.
Pemerintah lebih berperan dalam pelayanan dan membangun kawasan untuk memecahkan permasalahan dasar dalam pengembangan peternakan sehingga dapat mengaktifkan mekanisme pasar. Usaha peternakan hendaknya dapat memacu perkembangan agroindustri sehingga membuka kesempatan kerja dan usaha. Implikasi kebijakan dari gagasan ini adalah perlu dibuat peta jalan pembangunan peternakan nasional dan diuraikan secara rinci di setiap wilayah pengembangan ternak.

2.4. Kebijakan Pengembangan Sapi Potong
Pengembangan peternakan sapi potong dilakukan bersama oleh pemerintah, masyarakat (peternak skala kecil), dan swasta. Pemerintah menetapkan aturan main, memfasilitasi serta mengawasi aliran dan ketersediaan produk, baik jumlah maupun mutunya agar memenuhi persyaratan halal, aman, bergizi, dan sehat. Swasta dan masyarakat berperan dalam mewujudkan kecukupan produk peternakan melalui kegiatan produksi, impor, pengolahan, pemasaran, dan distribusi produk sapi potong (Bamualim et al. 2008).
Secara umum pengembangan suatu jenis usaha dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah dukungan aturan dan kebijakan (rules and policies) pemerintah. Dalam hal ini, kemauan pemerintah (govermental will) dan legislatif berperan penting, selain lembaga penelitian dan perguruan tinggi (Amar, 2008).
Tawaf dan Kuswaryan (2006) menyatakan, kebijakan pemerintah dalam pembangunan peternakan masih bersifat top down. Kebijakan seperti ini pada akhirnya menyulitkan berbagai pihak, terutama stakeholder. Pertanyaannya bagaimana membuat kebijakan public yang didasarkan hasil riset dengan melibatkan stakeholder dan pembuat kebijakan melalui forum dialog, kemudian hasilnya diagendakan sehingga dapat digunakan dalam merumuskan kebijakan nasional, regional, dan internasional.
Menurut Rustijarno dan Sudaryanto (2006), kebijakan pengembangan ternak sapi potong ditempuh melalui dua jalur. Pertama, ekstensifikasi usaha ternak sapi potong dengan menitikberatkan pada peningkatan populasi ternak yang didukung oleh pengadaan dan peningkatan mutu bibit, penanggulangan penyakit dan parasit ternak, peningkatan penyuluhan, bantuan perkreditan, pengadaan dan peningkatan mutu pakan atau hijauan, dan pemasaran. Kedua, intensifikasi atau peningkatan produksi per satuan ternak melalui penggunaan bibit unggul, pakan ternak, dan penerapan manajemen yang baik.
Dalam rangka pengembangan usaha ternak sapi potong melalui penerapan konsep kawasan, maka dapat disarankan hal-hal sebagai berikut :
-          Perlu diperkuat koordinasi dengan berbagai instansi di luar Dinas Peternakan, seperti Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Perkebunan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Badan Bimas dan Ketahanan Pangan Daerah, Penanaman Modal dan Pengelolaan Pasar, Dinas Koperasi, Kantor Humas dan Informatika, Bappeda, serta instansi atau pihak lain yang terkait.
-          Perlu dibentuk suatu forum yang bertugas melakukan sinkronisasi kegiatan pengembangan kawasan peternakan dan usaha-usaha agribisnis dengan melibatkan setiap pelaku agribisnis, sehingga dalam proses penyusunan master plan hendaknya mengikutsertakan instansi lain dan mengacu kepada rencana yang telah ada di Kabupaten/Kota setempat
-          Perlu dilakukan sosialisasi program dan identifikasi lokasi, identifikasi pasar, identifikasi peternak, identifikasi ternak dan membuat monografi kawasan
-          Dinas Peternakan harus melakukan integrasi vertikal dengan Pemda Propinsi dan DPRD Sulawesi Tenggara untuk melakukan upaya bagaimana supaya Pemerintah Daerah dapat menciptakan iklim investasi yang bergairah, sehingga merangsang perkembangan dunia usaha, khususnya dalam menciptakan iklim investasi bidang peternakan di daerah Sulawesi Tenggara.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar