Tugas Individu
MANAJEMEN PENGGEMUKAN
“Prospek Usaha Penggemukan Sapi
Potong Di Sulawesi Tenggara
”

OLEH :
GORISMAN MATUALESI
L1A1 13 009
KELAS A
FAKULTAS
PETERNAKAN
UNIVERSITAS
HALU OLEO
KENDARI
2016
I.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Kebutuhan daging sapi sebagai salah satu sumber protein
hewani semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat
terhadap pentingnya gizi yang seimbang, pertambahan penduduk dan meningkatnya
daya beli masyarakat.
Sapi potong merupakan komoditas unggulan di sektor
peternakan, karena pada tahun 2003 saja
telah mampu menyumbang 66 % atau lebih 350.000 ton dari total produksi daging
dalam negeri yang sebesar lebih 530.000 ton (Aryogi dan Didi, 2007). Namun
demikian, kemampuan produksi daging sapi dalam negeri tersebut belum mampu
mencukupi kebutuhan nasional, sehingga menyebabkan impor sapi hidup, daging
sapi maupun jeroan sapi masih terus tinggi.
Sebagai gambaran pentingnya peternakan sapi di Indonesia
adalah masih tergantungnya dari suplai Luar Negeri. Untuk memenuhi kebutuhan
daging serta sapi bakalan yang akan digemukkan oleh feedloter sampai saat ini
masih tergantung pada impor. Data Asosiasi Produsen Daging dan Feedloter
Indonesia (APFINDO) menunjukkan bahwa tidak kurang dari 200.000 ekor sapi
bakalan per tahun diimpor dari luar negeri, bahkan sumber lain menyebutkan
sampai mencapai 400.000 ekor per tahun.
Ternak sapi memiliki peran penting dan peluang pasar yang
menggembirakan karena merupakan ternak unggulan penghasil daging nasional. Di
beberapa daerah, pemeliharaan sapi dilakukan secara terpadu dengan tanaman yang
dikenal dengan sistem integrasi ternak-tanaman.
Sulawesi Tenggara merupakan salah satu daerah yang potensial
untuk pegembangan peternakan sapi potong, hanya saja emeliharaan sapi umumnya
diusahakan secara tradisional atau sambilan sehingga produktivitasnya rendah.
Oleh karena itu, upaya untuk memberdayakan petani-peternak sapi di wilayah
tersebut penting dilakukan karena memelihara sapi banyak dilakukan oleh petani-peternak
setempat. Pengembangan usaha ternak perlu ditunjang dengan kebijakan pemerintah
yang relevan sehingga memberikan dampak positif terhadap peningkatan
kesejahteraan petani-peternak.
Selain sebagai sumber pendapatan tambahan melalui penjualan
pupuk kompos dan penyewaan tenaga kerja ternak. Pengembangan usaha ternak sapi
dapat dilakukan dengan memberdayakan sumber daya lokal.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di
atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana
potensi pengembangan peternakan sapi potong di Sulawesi Tenggara?
2.
Bagaimana
permasalahan atau tantangan pengembangan peternakan sapi potong di Sulawesi
Tenggara?
3.
Bagaimana
strategi atau kebijakan tentang pengembangan peternakan sapi potong di Sulawesi
Tenggara?
1.3.
Tujuan dan Manfaat
Tujuan yang ingin dicapai dari
penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana prospek pengembangan
peternakan sapi potong secara umum dan terkhusus di daerah Sulawesi Tenggara.
Manfaat yang dapat diperoleh dari
makalah ini adalah member informasi mengenai sapi potong serta prospek
pengembangannya.
II. PEMBAHASAN
2.1.
Potensi Peternakan Sapi Potong di
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tenggara memiliki potensi yang besar untuk
pengembangan usaha ternak sapi karena didukung oleh sumber daya alam yaitu
lahan dan pakan, sumber daya manusia, serta peluang pasar yang memadai. Ternak
sapi mempunyai prospek dan potensi pasar yang cerah. Selain memberikan tambahan
pendapatan bagi petani-peternak, usaha ternak sapi juga merupakan sumber
pendapatan daerah melalui perdagangan antarprovinsi dan antarpulau, antara lain
ke Maluku, Papua, Jawa (Jakarta), dan Kalimantan Timur (Dinas Pertanian
Provinsi Sulawesi Tenggara 2005).
Kebutuhan daging sapi terus meningkat seiring makin baiknya
kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi yang seimbang, pertambahan penduduk,
dan meningkatnya daya beli masyarakat. Salah satu upaya untuk memenuhi
kebutuhan daging dalam negeri yaitu dengan meningkatkan populasi, produksi, dan
produktivitas sapi potong.
Volume impor sapi potong dan produk olahannya cukup besar,
setara dengan 600−700 ekor/tahun (Bamualim et al. 2008). Neraca
kebutuhan daging sapi yang dihitung berdasarkan asumsi pertumbuhan penduduk.
Ditinjau dari sisi potensi yang ada, Sulawesi Tenggara selayaknya mampu
memenuhi kebutuhan pangan asal ternak dan berpotensi menjadi pengekspor produk
peternakan. Hal tersebut dimungkinkan karena didukung oleh ketersediaan sumber
daya ternak dan peternak, lahan dengan berbagai jenis tanaman pakan, produk
sampingan industri pertanian sebagai sumber pakan, serta ketersediaan inovasi
teknologi.
Pengembangan usaha peternakan di
Sulawesi Tenggara bertujuan untuk meningkatkan populasi dan produksi ternak
sehinnga mampu menyediakan protein hewani asal ternak seperti daging, telur,
susu, untuk dikonsumsi kegutuhan daerah sendiri maupun propinsi tetangga. Ada
beberapa Faktor yang mendukung pengembangan usaha peternakan di Sulawesi
Tenggara yaitu :
2.1.1. Sumber
Daya Alam
Sulawesi
Tenggara memiliki sumber daya alam yang cukup untuk meningkatkan ekonomi
masyarakat terutama pada sektor pertanian, pariwisata, pertambangan dan energi.
Dilihat dari beberapa sektor mata pencarian disektor pertanian mendekati
separo, yaitu lebih kurang 48% dan sisanya adalah mata pencarian disektor
perdagangan, hotel/restoran dan industri.
Bila dilihat
dari ketersediaan lahan untuk mengembangkan ternak besar pada dasarnya dapat
menampung ternak besar, sedangkan populasi ternak besar saat ini berjumlah
902.144 ekor sapi (sapi dan Kerbau). Hal ini menggambarkan bahwa masih tersedia
lahan yang cukup luas untuk pengembangan ternak besar. Sulawesi Tenggara yang
memiliki curah hujah yang cukup, telah menjadikan tanahnya subur untuk
ditumbuhi rumput hijauan pakan ternak dan juga tersdia limbah pertanian seperti
daun jagung, jerami, dan lain - lain.
2.1.2. Sumber
Daya Manusia
Dukungan
Sumber Daya Manusia dalam pengembangan sapi potong cukup tersedia, sebahagian
besar peternak sudah berpengalaman dan terampil dalam membudidayakan sapi
potong, sedangkan disisi lain aparatur pelayanan juga sudah berpengalaman dan
trampil serta senantiasa siap memberikan pelayanan di lapangan seperti
inseminator, petugas PKB, (Pemeriksa Kebuntingan), Petugas ATR, Recorder,
Handling Semen, Embryo Transfer (ET), Juru Keswan dan Paramedis.
2.1.3. Dukungan
Infra Struktur (Sarana/Prasarana)
Dalam
menyongsong tumbuhnya usaha-usaha baru dan mendorong berkembangnya usaha yang
telah ada, pemerintah telah menyediakan dukungan infra struktur (sarana dan
prasarana) untuk pelayanan IB, pelayanan Keswan, Pelayanan Pemotongan Hewan
Ternak dan Pelayanan dan Pelayanan Pasar Ternak.
Jika potensi lahan yang ada dapat dimanfaatkan 50% saja maka
jumlah ternak yang dapat ditampung mencapai 29 juta satuan ternak (ST). Belum
lagi kalau padang rumput alam yang ada diperbaiki dan ditingkatkan kualitasnya
dengan menggunakan rumput unggul sehingga daya tampungnya meningkat secara
nyata (Bamualim et al. 2008).
Pengembangan industri sapi potong mempunyai prospek yang
sangat baik dengan memanfaatkan sumber daya lahan maupun sumber daya pakan
(limbah pertanian dan perkebunan) yang tersedia terutama di daerah Sulawesi
Tenggara. Potensi lahan pertanian yang belum dimanfaatkan masih sangat luas,
termasuk lahan gambut dan lebak (Rustijarno dan Sudaryanto 2006). Namun,
kenyataan menunjukkan pengembangan sapi potong belum mampu memenuhi kebutuhan
daging dalam negeri, selain rentan terhadap serangan penyakit.
Hal ini kemungkinan disebabkan adanya berbagai kelemahan
dalam sistem pengembangan peternakan. Oleh karena itu, perlu dirumuskan model
pengembangan dan kelembagaan usaha ternak sapi potong yang tepat, berbasis
masyarakat, dan secara ekonomi menguntungkan. Semua sumber daya yang ada dapat
dimanfaatkan untuk menghasilkan produk peternakan yang berkualitas, terjangkau,
dan bersaing dengan produk sejenis dari luar negeri sekaligus meningkatkan
kesejahteraan peternak (Bamualim et al. 2008). Perkiraan produksi,
kebutuhan, neraca dan populasi ideal sapi potong Indonesia tahun 2005−2010.
Usaha ternak sapi secara tradisional dikelola peternak dan
anggota keluarganya dan menjadi tumpuan untuk meningkatkan kesejahteraan
mereka. Pengembangan usaha ternak sapi sebagai usaha keluarga dipengaruhi oleh
berbagai faktor yang saling terkait, antara lain pendidikan, penggunaan input,
pemasaran, kredit, kebijakan, perencanaan, penyuluhan, dan penelitian (Pambudy,
1999). Pendidikan anggota rumah tangga dapat mempengaruhi keputusan produksi.
Chavas et al. (2005) dalam penelitiannya memasukkan pendidikan dalam
menganalisis karakteristik rumah tangga dan usaha tani.
2.2.
Permasalahan/Kendala Peternakan Sapi
Potong di Sulawesi Tenggara
Terdapat
beberapa kendala yang akan dihadapi saat dilakukan upaya pengembangan sapi
potong yaitu antara lain:
1. Sistem pemeliharaan sapi potong di
Sulawesi Tenggara kebanyakan masih secara tradisional.
2. Peterrnak-peternak sapi kebanyakan
tidak melakukan sistem seleksi yang benar dalam pemeliharaan sapinya.
3. Kurangnya pemanfaatan lahan untuk
ditanamai hijauan makanan ternak, sehingga terkendala dalam penyediaan pakan.
4. Kurangnya penyuluhan dari dinas
terkait mengenai pengembanagn peternakan sapi potong.
5. Peternak rakyat kebanyakan tidak
melakukan perawatan kesehatan seperti vaksinasi yang rutin sehingga ternaknya
mudah terkena penyakit.
6. Masih kuatnya anggapan para peternak
rakyat bahwa sapi potong lokal mempunyai produktivitas yang rendah atau secara
ekonomis kalah jauh dibandingkan dengan sapi potong silangan. Akibatnya minat peternak
memelihara sapi potong lokal semakin menurun diganti dengan pemeliharaan sapi
silangan.
7. Belum adanya aplikasi praktis
peraturan formal guna melindungi dan mengembangkan jumlah populasi dan luasan
areal penyebaran sapi potong lokal.
8. Lokasi budidaya yang terpencil
dengan skala pemilikan yang sangat rendah.
9. Belum adanya data tentang peta
penyebaran dan jumlah populasi, serta produktivitas sapi.
2.2.1. Faktor ketersediaan bakalan
1.
Terjadinya penurunan populasi di seluruh
sumber sapi potong
2.
Rendahnya produktivitas sapi local
3.
Penyebaran lokasi sapi lokal,
sehingga sulit dalam pengelolaan dan koordinasi.
4.
Belum tersedianya suatu instansi
atau perusahaan yang menyediakan bibit, sebab masalah persediaan bibit
merupakan tanggung jawab pemerintah atau industry bukannya dibebankan pada
peternakan rakyat.
2.2.2. Faktor ekonomi
1. Penurunan daya beli masyarakat.
2. Ternak potong belum menjadi usaha
yang diminati untuk dibiayai oleh perbankan, serta tidak menarik bagi investor.
Hal ini disebabkan oleh:
-
Tingkat resiko usaha yang lebih
tinggi dibanding usaha lainnya (struktur tataniaga belum tertata rapih)
-
Investasi dibutuhkan cukup besar dan
nilai itu ada pada sapinya
-
Teknologi pascapanen belum cukup
memadai
-
ndustri sapi potong sebagian besar
dilakukan secara tradisional
3. Belum adanya sistem kredit yang
memang benar diperuntukkan untuk subsector peternakan khususnya sapi potong.
4. Masih tingginya country risk Indonesia.
2.2.3. Faktor kebijakan
1. Belum adanya program pemerintah yang
tepat sasaran, tepat guna dan
berkesinambungan serta berdaya saing tinggi.
2. Terjadinya benturan kepentingan
antar departemen maupun antar subsektor dalam satu departemen diantaranya PPN
sapi bibit bakalan, Badan Karantina dan adanya PP no 49 th. 2002.
3. Pelaksana otonomi daerah yang
bervariasi di masing-masing daerah
4. Belum akuratnya data populasi sapi
potong di Indonesia sehingga sulit untuk memprediksi supply dan demand sapi
potong di Indonesia
5. Penentuan daerah penghasil bibit,
daerah penghasil sapi potong dan daerah penerima belum ada rambu-rambu yang
jelas.
6. Kontrol arus keluar masuknya ternak
dari masing-masing daerah sangat lemah.
2.2.4. Faktor SDM peternakan
Rendahnya kepekaan insan peternakan (Lembaga Penelitian
Pemerintah, Lembaga Pendidikan, Pelaku usaha, Petani) terhadap penurunan
populasi sapi potong.
2.3. Strategi/Kebijakan Pengembangan
Peternakan Sapi Potong
Berbagai
upaya telah dilakukan untuk meningkatkan produktivitas, produksi maupun
populasi sapi potong dalam rangka mendukung program kecukupan daging (PKD)
2010, yang direvisi menjadi 2014. Produksi daging dalam negeri diharapkan mampu
memenuhi 90−95% kebutuhan daging nasional. Karena itu, pengembangan sapi potong
perlu dilakukan melalui pendekatan usaha yang berkelanjutan, didukung dengan
industri pakan yang mengoptimalkan pemanfaatan bahan pakan lokal spesifik
lokasi melalui pola yang terintegrasi. Hingga kini, upaya pengembangan sapi
potong belum mampu memenuhi kebutuhan daging dalam negeri, selain rentan
terhadap serangan penyakit.
Hal ini
dapat disebabkan oleh berbagai kelemahan dalam sistem pengembangan peternakan.
Oleh karena itu, perlu diupayakan model pengembangan dan kelembagaan yang tepat
berbasis masyarakat dan secara ekonomi menguntungkan. Pemerintah sebaiknya
menyerahkan pengembangan peternakan ke depan kepada masyarakat melalui
mekanisme pasar bebas.
Pemerintah
lebih berperan dalam pelayanan dan membangun kawasan untuk memecahkan
permasalahan dasar dalam pengembangan peternakan sehingga dapat mengaktifkan
mekanisme pasar. Usaha peternakan hendaknya dapat memacu perkembangan
agroindustri sehingga membuka kesempatan kerja dan usaha. Implikasi kebijakan
dari gagasan ini adalah perlu dibuat peta jalan pembangunan peternakan nasional
dan diuraikan secara rinci di setiap wilayah pengembangan ternak.
2.4.
Kebijakan Pengembangan Sapi Potong
Pengembangan peternakan sapi potong dilakukan bersama oleh pemerintah,
masyarakat (peternak skala kecil), dan swasta. Pemerintah menetapkan aturan
main, memfasilitasi serta mengawasi aliran dan ketersediaan produk, baik jumlah
maupun mutunya agar memenuhi persyaratan halal, aman, bergizi, dan sehat.
Swasta dan masyarakat berperan dalam mewujudkan kecukupan produk peternakan
melalui kegiatan produksi, impor, pengolahan, pemasaran, dan distribusi produk
sapi potong (Bamualim et al. 2008).
Secara umum pengembangan suatu jenis usaha dipengaruhi oleh
berbagai faktor, salah satunya adalah dukungan aturan dan kebijakan (rules
and policies) pemerintah. Dalam hal ini, kemauan pemerintah (govermental
will) dan legislatif berperan penting, selain lembaga penelitian dan
perguruan tinggi (Amar, 2008).
Tawaf dan Kuswaryan (2006) menyatakan, kebijakan pemerintah
dalam pembangunan peternakan masih bersifat top down. Kebijakan seperti
ini pada akhirnya menyulitkan berbagai pihak, terutama stakeholder.
Pertanyaannya bagaimana membuat kebijakan public yang didasarkan hasil riset
dengan melibatkan stakeholder dan pembuat kebijakan melalui forum
dialog, kemudian hasilnya diagendakan sehingga dapat digunakan dalam merumuskan
kebijakan nasional, regional, dan internasional.
Menurut Rustijarno dan Sudaryanto (2006), kebijakan
pengembangan ternak sapi potong ditempuh melalui dua jalur. Pertama,
ekstensifikasi usaha ternak sapi potong dengan menitikberatkan pada peningkatan
populasi ternak yang didukung oleh pengadaan dan peningkatan mutu bibit,
penanggulangan penyakit dan parasit ternak, peningkatan penyuluhan, bantuan
perkreditan, pengadaan dan peningkatan mutu pakan atau hijauan, dan pemasaran.
Kedua, intensifikasi atau peningkatan produksi per satuan ternak melalui
penggunaan bibit unggul, pakan ternak, dan penerapan manajemen yang baik.
Dalam rangka pengembangan usaha ternak sapi potong melalui
penerapan konsep kawasan, maka dapat disarankan hal-hal sebagai berikut :
- Perlu diperkuat koordinasi dengan
berbagai instansi di luar Dinas Peternakan, seperti Dinas Perindustrian dan
Perdagangan, Dinas Perkebunan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Badan Bimas dan
Ketahanan Pangan Daerah, Penanaman Modal dan Pengelolaan Pasar, Dinas Koperasi,
Kantor Humas dan Informatika, Bappeda, serta instansi atau pihak lain yang
terkait.
- Perlu dibentuk suatu forum yang
bertugas melakukan sinkronisasi kegiatan pengembangan kawasan peternakan dan
usaha-usaha agribisnis dengan melibatkan setiap pelaku agribisnis, sehingga
dalam proses penyusunan master plan hendaknya mengikutsertakan instansi lain dan
mengacu kepada rencana yang telah ada di Kabupaten/Kota setempat
- Perlu dilakukan sosialisasi program
dan identifikasi lokasi, identifikasi pasar, identifikasi peternak,
identifikasi ternak dan membuat monografi kawasan
- Dinas Peternakan harus melakukan
integrasi vertikal dengan Pemda Propinsi dan DPRD Sulawesi Tenggara untuk
melakukan upaya bagaimana supaya Pemerintah Daerah dapat menciptakan iklim
investasi yang bergairah, sehingga merangsang perkembangan dunia usaha,
khususnya dalam menciptakan iklim investasi bidang peternakan di daerah
Sulawesi Tenggara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar