TUGAS
MATA KULIAH
TEKNOLOGI
REPRODUKSI TERNAK
TRANSFER
EMBRIO PADA SAPI

OLEH
GORISMAN
MATUALESI
L1A1
13 009
KELAS
A
JURUSAN
PETERNAKAN
FAKULTAS
PETERNAKAN
UNIVERSITAS
HALU OLEO
KENDARI
2015
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat
Allah SWT, karena atas limpahan nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah
ini tepat pada waktu
yang telah ditentukan. Makalah ini disusun
sebagai syarat untuk penambahan nilai dalam mata Teknologi
Reproduksi Ternak.
Makalah ini membahas tentang Embrio Transfer pada sapi. Dengan hadirnya makalah
ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai Embrio Transfer pada sapi.
Olehnya itu sangat penting penulis menyusun laporan
ini.
Penulis
menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan. Olehnya itu, saran atau kritikan sangat diharapkan demi
perbaikan dalam pembuatan makalah berikutnya.
Semoga dengan hadirnya makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi pembaca dan khususnya bagi saya selaku penyusun makalah ini.
Kendari,
14 september 2015
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR……………………………………………………………i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………..iv
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………vi
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang…...……………………………………………………1
B. Tujuan
dan Manfaat…..………………………….……………………2
A. Pengertian Transfer Embrio
…………………………………………..3
BAB
II. PEMBAHASAN
B. Manfaat Transfer Embrio.…….……………...…………………….….4
C. Keunggulan Transfer Embrio.………………………………….……...4
D.
Tahapan
Transfer Embrio …………………………………………….5
BAB
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
………………………………………………………….12
B. Saran
……………………………………………………………...…12
DAFTAR
PUSTAKA
DAFTAR GAMBAR
1. Circular method of uterin horn flushing (non
surgical)…….…………………….………...9
2. Kualitas Embrio ...…………….…………………………………………………………..10
3. Ilustrasi Proses
Transfer Embiro pada Sapi .……………………………………………...11
I. PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Permintaan akan daging di Indonesia
akan bertambah terus secara nyata dengan bertambahnya penduduk dan pendapatan.
Usaha membentuk bangsa sapi potong baru memerlukan waktu yang lama. Selama
beberapa tahun impor ternak hidup untuk meningkatkan produksi ternak potong
mengalami banyak hambatan dan tidak optimal. Oleh karena itu teknologi transfer
embrio (TE) menawarkan jalan untuk meningkatkan dan mengembangkan produksi
daging secara berkelanjutan. Produksi embrio dapat dilakukan secara in vivo dan
in vitro. Teknologi superovulasi dengan menggunakan hormon gonadotrophin telah
berhasil meproduksi embrio secara in vivo, akan tetapi teknologi ini dibatasi
oleh mahalnya hormon dan respons yang bervariasi dari donor. Produksi embrio
secara in vitro menawarkan jalan yang terbaik untuk menghasilkan embrio yang
berkualitas baik dan murah. Sumber oocyt bisa dari rumah potong hewan maupun
hewan betina muda (Juvenile) dan tidak didapat hambatan teknik untuk
penerapannya dilapangan. Ternak potong lokal (PO, SO, Bali, dll) mempunyai
fertilitas yang tinggi dan sudah beradaptasi dengan lingkungan tropis.
Menggunakan bangsa sapi lokal untuk resipien bagi hybrid embrio hasil in vitro
sangat memungkinkan. Teknologi pemisahan spermatozoa akan meningkatkan
efisiensi produksi sapi potong. Pada waktu yang akan datang teknologi sexing ,
splitting dan cloning embrio untuk meningkatkan efisiensi TE perlu dievaluasi.
Aplikasi TE di Indonesia dimulai
pada awal dasawarsa 1980-an. Saat ini penelitian dan penguasaan teknologi telah
dilakukan dan dikembangkan oleh berbagai institusi, seperti BALITNAK, Balai
Embrio Ternak, LIPI dan beberapa Perguruan Tinggi seperti IPB, UGM, Brawijaya,
Airlangga dll. Keberhasilan teknologi TE di Indonesia masih sangat beragam dan
dampaknya untuk perkembangan maupun peningkatan produktivitas ternak masih
sangat minimal. Program untuk mengembangkan dan memanfaatkan teknologi TE masih
belum terfokus dengan baik. Padahal teknologi ini merupakan salah satu wahana
yang sangat penting dalam rangka meningkatkan produktivitas ternak.
Transfer embrio adalah suatu proses dimana embrio
dipindahkan dari seekor hewan betina yang bertindak sebagai donor pada waktu
embrio tersebut belum mengalami implantasi, kepada seekor betina yang bertindak
sebagai ppenerima sehingga resepien tersebut menjadi bunting (Hartantyo, 1987).
Transfer embrio banyak dibicarakan di Indonesia pada akhir
tahun 1982, sejak datangnya seorang tamu penceramah dari Amerika Serikat yang
menyampaikan suatu bahasan mengenai TE. Ceramah diadakan di Balai Penelitian
Ternak Ciawi yang diikuti oleh para cendekia peternakan dari kalangan perguruan
tinggi, lembaga penelitian maupun Direktorat Jenderal Peternakan (Martojo,1987).
Sedangkan teknologi transfer embrio untuk pertama kali
diintroduksi pada sapi di Cicurug Jawa Barat pada tahun 1984 dengan menggunakan
embrio beku import dari Texas, USA. Transfer dilakukan pada 77 ekor resepien
dengan cara pembedahan lewat daerah kampong oleh tim dari Granada Livestock
Transplant Co, USA (Putro, 1994).
B.
Tujuan Dan Manfaat
Tujuan
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Mengetahui pengertian transfer
embrio.
2.
Mengetahui manfaat transfer embrio.
3.
Mengetahui keunggulan transfer
embrio.
d.
Mengetahui tahapan transfer embrio.
Manfaat
yang dapat diperoleh dari penulisan makalah ini yaitu
a.
Dapat mengetahui pengertian transfer
embrio.
b.
Dapat mengetahui manfaat transfer
embrio.
c.
Dapat mengetahui keunggulan transfer
embrio.
d.
Dapat mengetahui tahapan transfer
embrio.
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Transfer
Embrio
Transfer Embrio merupakan suatu
teknik yang dikenal juga dengan genetic manipulation. Keuntungan praktis dari
transfer embrio adalah untuk meningkatkan kapasitas reproduksi ternak yang
berharga. Untuk beberapa tahun peningkatan
mutu genetic ternak sapi telah dilakukan dengan metode inseminasi buatan
dengan memanfaatkan sisi pejantan.
Berbeda
halnya dengan Transfer embrio dimana dapat mempercepat percepatan dari sisi
betina, namun berjalan sangat lambat karena ternak sapi betina bersifat
monotokus dan mempunyai masa kebuntingan yang cukup panjang.
Transfer
embrio adalah suatu teknik dimana embrio (fertilized ova) dikoleksi dari alat
kelamin ternak betina menjelang nidasi dan ditransplantasikan ke dalam saluran
reproduksi betina lain untuk melanjutkan kebuntingan hingga sempurnah, seperti
konsepsi, implantasi/nidasi dan kelahiran.
Produksi
embrio dapat dilakukan secara in vivo dan in vitro. Dalam teknik in vivo, hewan
betina donor akan menjalani superovulasi, yakni penyuntikan hormone
gonadotropin (FSH, PMSG/CG atau HMG) guna melipat gandakan produksi sel telur.
Sel-sel telur yang diovulasikan tersebut, setelah mengalami pembuahan dan
berkembang menjadi embrio ditampung atau dikoleksi untuk kemudian ditransfer
pada betina resipien.
Di
samping ditransfer secara langsung embrio dapat dibekukan atau dimanipulasi
guna menghasilkan kembar identik. Embrio paruh yang dihasilkan dapat ditransfer
atau sebagai bahan untuk menentukan jenis kelamin. Pada teknik in vitro, sumber
sel telur umumnya berasal dari ovarium yang berasal dari hewan yang telah
dipotong. Dibeberapa Negara maju, limbah rumah potong hewan (RPH) tersebut,
setelah melalui serangkaian teknik tertentu teryata terbukti telah secara
komersial dapat meyediakan embrio bagi penyediaan ternak potong. Dengan bantuan
ultrasonografi, teknik “ovum pick-up” telah dapat diterapkan guna menyediakan
oosit ternak unggul yang masih produktif tanpa harus menunggu di potong.
B. Manfaat Transfer Embrio
Beberapa
manfaat dari teknologi transfer embrio adalah:
a.
Untuk
meningkatkan populasi ternak unggul. Seekor sapi betina hanya mampu
menghasilkan 7 keturunan selama hidupnya, sedangkan dengan penerapan TE maka
seekor sapi betina mampu menghasilkan 448 keturunan selama hidupnya. (Rutledge,
2004).
b.
Import dan eksport embrio sebagai
ganti ternak dewasa sehingga biasanya menjadi lebih ekonomis. Transfer embrio
juga memungkinkan hewan melahirkan anak dari spesies lain, misalnya kuda
melahirkan zebra, domba melahirkan kambing seperti yang terjadi di Louisville
Zoo.
c.
Manfaat lainnya adalah memperoleh
keturunan dari induk yang kurang fertile, induk yang dimaksud adalah betina
yang menderita oobstruksi tuba falofia yang bilateral total dan betina yang
menderita adesi fimria bilateral total (Martojo, 1987).
C.
Keunggulan Transfer embrio
a. Perbaikan
mutu genetik pada IB hanya berasal dari pejantan unggul sedangkandengan
teknologi TE, sifat unggul dapat berasal dari pejantan dan induk yang unggul.
b.
Waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh derajat kemurnian genetik yang
tinggi (Purebred) dengan TE jauh lebih cepat dibandingkan IB dan kawin alam.
c. Dengan
teknik TE, seekor betina unggul mampu menghasilkan lebih dari 20-30 ekor pedet
unggul per-tahun sedangkan dengan IB hanya dapat menghasilkan satu pedet
per-tahun.
d. Melalui
teknik TE dimungkinkan terjadinya kebuntingan kembar dengan jalan mentransfer
setiap tanduk uterus (Cornua Uteri) dengan satu embrio.
D. Tahapan Transfer embrio
1.
Pemilihan Donor dan Resipien
Seleksi sapi betina donor untuk transfer embrio harus mempertimbangkan
faktor-faktor ekonomis dan genetic yaitu mempunyai produktivitas yang tinggi,
sehat, mempunyai siklus birahi yang regular mulai pubertas. Mempunyai kinerja
yang baik, dan tidak pernah mengalami kesulitan melahirkan maupun gangguan
reproduksi lainnya. Sedangkan syarat hewan resepien adalah sapi muda yang bebas
penyakit, kinerja yang bagus, dan proses kelahiran sebelumnya mudah. Kandidat
resepien perlu diperiksa dengan cermat kondisi kesehatan tubuh maupun status
reproduksinya.
2.
Superovulasi Dan Induksi Estrus Pada Donor
Superovulasi adalah suatu usaha yang
dilakukan untuk mendapatkan ova lebih banyak dibandingkan dengan keadaan
normalnya dengan memberikan hormone dari luar. Superovulasi memerlukan sediaan gonadotropin yang kaya
akan atau meniru efek FSH (follicle stimulating hormone). Disamping itu FSH
harus ada dalam periode yang cukup untuk memacu pertumbuhan dan pematangan
akhir folikel. Sediaan FSH, PMSG (Pregnant mare’s serum gonadotropin) dan HCG
(human chorionic gonadotropin) merupakan agen gonadotropin yang lazim digunakan
untuk superovulasi. Hasil superovulasi meliputi jumlah embrio dan kualitas
embrio sangat bervariasi dan sulit diramalkan. Respon hewan terhadap
preparat gonadotropin tergantung dari musim, bangsa, makanan, macam preparat
yang dipakai, berat hidup, umur, fase dari siklus birahi, dan frekuensi
pemberian dan dosis gonadotropin yang digunakan. Preparat gonadotropin dapat diberikan pada fase luteal
yaitu hari ke-8 sampai 12 siklus birahi yang diikuti dengan pemberian preparat
prostaglandin F2-alfa (PGF2-alfa) untuk melisiskan corpus luteumnya; pada fase
proestrus yaitu hari ke-16 sampai 20 siklus birahi tanpa diikuti dengan
pemberian PGF2-alfa. Jika superovulasi menggunakan PMSG maka PGF2-Alfa
diberikan 48 jam setelah menyuntikkan PMSG, namun jika menggunakan FSH, maka
PGF2-Alfa diberikan pada hari ke-3 atau bersamaan dengan pemberian FSH yang
ke-5. Dosis FSH yang telah digunakan pada sapi Bali adalah 24 mg untuk setiap
ekor sapi, yang dibagi menjadi 8 dosis dan diberikan 2 kali sehari selama 4
hari berturut-turut.
Salah satu masalah utama dalam program transfer embrio
adalah tingginya variabilitas respon terhadap superovulasi pada induk donor.
Padahal kuantitas dan kualitas embrio donor sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan transfer embrio. Superovulasi merupakan kunci keberhasilan
transfer embrio dan tidak hanya ditentukan oleh tingginya laju ovulasi dan
jumlah embrio yang diperoleh, tetapi superovulasi dipengaruhi juga oleh
berbagai faktor seperti faktor-faktor yang mempengaruhi respon superovulasi
pada induk donor, faktor yang mempengaruhi fertilisasi dan viabilitas embrio
serta faktor yang berhubungan dengan manajemen induk donor.
Hormon yang umum digunakan untuk menginduksi
superovulasi pada sapi adalah Follicle Stimulating Hormone (FSH) yang berasal
dari hipofisa. FSH merupakan hormon glikoprotein yang mempunyai waktu paruh
yang pendek, sehingga memerlukan pemberian secara berulang untuk merangsang
aktivitas folikel secara lebih efisien. Berbagai penelitian pengaruh pemberian
hormon terhadap respon superovulasi pada induk donor telah dilakukan yaitu
dengan menggunakan PMSG, FSH Ovagen, FSH-PTM (FSH from pituitary) baik pada
sapi potong maupun sapi perah (Tappa et al., 1994a; 1997).
Di Indonesia PMSG lebih banyak
digunakan karena dapat diperoleh dengan mudah dan lebih murah dibandingkan
dengan FSH-P. Pregnant mare’s serum gonadotropin merupakan glikoprotein komplek
yang mempunyai aktivitas biologi seperti FSH dan LH; dimana aktivitas FSHnya
lebih besar. PMSG mengandung asam sialat 10,8% yang berfungsi mencegah
degradasi glikoprotein hormone oleh hati (Bindon and Piper, 1986).
Pada spi PMSG mempunyai daya kerja
yang cukup panjang waktu paruhnya, yakni antara 2-5 hari, sedangkan residunya
tetap ada dalam sirkulasi darah sampai 10 hari. PMSG bekerja dengan
kemampuannya mencegah atau menghambat proses atresia dari folikel ovaria.
Sediaan PMSG di Indonesia dapat
diperoleh dengan mudah, dengan merk dagang Folligon. Dosis PMSG yang dianjurkan
pada sapi adalah 1:500-3.000 IU yang disuntikkan secara intramuskuler tiap
donor sapi. Untuk membantu proses ovulasi dan mencegah terjadinya folikel
anovulasi kadang-kadang perlu diberikan HCG awal birahi dengan dosis
1.500-3.000 IU per ekor.
Waktu paruh PMSG yang panjang
menimbulkan problema overstimulasi ovaria. Problem ini dapat diatasi dengan
injeksi intravena antibody monoclonal terhadap PMSG (anti-PMSG) pada saat
inseminasi. Anti-PMSG akan menetralisir PMSG yang ada dengan menurunkan 85% konsentrasi
PMSG di darah dalam waktu 1 jam dan sampai konsentrasi yang tidak dapat
dideteksi lagi dalam waktu 2 jam. Salah satu anti-PMSG yang dapat diperoleh di
pasaran adalah Neutra-PMSG.
3.
Sinkronisasi estrus
Sinkronisasi birahi adalah suatu usaha
yang dilakukan untuk mengendalikan siklus birahi sekelompok hewan betina
sehingga birahi terjadi dalam waktu yang bersamaan atau paling tidak dalam
waktu 2 atau 3 hari. Dalam program TE teknik sinkronisasi birahi dapat dipakai
untuk menyeragamkan stadium siklus birahi antara hewan donor dan hewan
resipien. Pemindahan embrio dapat dilaksanakan dengan berhasil ke dalam uterus
hewan resipien jika stadium siklus birahinya bersamaan dengan keadaan uterus
hewan donor (Toilihere, 1987).
Sinkronisasi perlu dilakukan setelah
perlakuan superovulasi agar waktu ovulasi terjadi dalam waktu bersamaan. Untuk
keperluan ini perlu adanya induksi luteolisis dengan agen luteolitik. Agen
luteolitik yang sudah teruji manfaatnya adalah PGF2-Alfa. Birahi pada sapi yang
sudah di superovulasi akan timbul dalam waktu 36-48 jam setelah pemberian
PGF2-Alfa. Untuk perlakuan sinkronisasi birahi betina resipien perlu diketahui
terlebih dahulu siklus birahinya, karena corpus luteum sapi peka terhadap
PGF2-Alfa hari ke-5 sampai 14 siklus birahi. Jika pada waktu korpus luteum peka
diberi perlakuan maka birahi akan timbul 1-4 hari atau rata-rata 2 hari setelah
penyuntikan PGF2-Alfa. Jika kita belum mengetahui siklus birahi sapi tersebut
maka dilakukan penyuntikan PGF2-Alfa 2 kali dengan interval 10 hari.
Prosedur yang digunakan adalah:
a. Ternak yang
diketahui mempunyai corpus luteum (CL), dilakukan penyuntikan PGF2α satu kali.
Birahi biasanya timbul 48 sampai 96 jam setelah penyuntikan.
b. Apabila
tanpa memperhatikan ada tidaknya CL, penyuntikan PGF2α dilakukan dua kali
selang waktu 11-12 hari. Penyuntikan PGF2α pada ternak resipien harus dilakukan
satu hari lebih awal daripada donor. Keadaan ini disebabkan karena pada ternak
donor yang telah diberi hormon gonadotropin, birahi biasanya lebih cepat yaitu
36-60 jam setelah penyuntikan PGF2a sedangkan pada resipien berahi biasanya
timbul 48-96 jam setelah penyuntikan PGF2α.
4.
Perkawinan Pada Hewan Donor
Perkawinan hewan donor dapat
dilakukan kawin alami atau inseminasi buatan (IB). Apabila dikawinkan secara IB
maka diperlukan dosis ganda yang aplikasinya satu dosis diberikan 6 jam setelah
menunjukkan gejala birahi dan satu dosis lagi diberikan 6 jam kemudian.
5.
Koleksi Embryo Dari Donor
Koleksi embrio hewan donor dapat
dilakukan pada hari ke-6 sampai 8 setelah perkawinan, pada waktu embrio sudah
berada pada kornua uteri. Pemanenan embrio yang sudah pernah dilakukan pada
sapi Bali yaitu pada hari ke-7 setelah perkawinan.
Perlengkapan yang diperlukan untuk
pemanenan embrio adalah:
1. Sterio mikroskop
2. Foley cateter
3. Larutan PBS
4. Pipa kaca
berbentuk Y
5. Cawan petri
6. Selang dan jarum
suntik
Hewan donor dipersiapkan terlebih
dahulu dengan jalan disuntik acethyl promazin dosis 6 mg per ekor.Selanjutnya
sapi dimasukkan ke kandang jepit, daerah sekitar vulva dibersihkan dan diberi
desinfektan dan alcohol 70%. Anastesi epidural dilakukan segera sebelum
katerisasi, dengan Lignocaine 2% dosis 4-6 ml. Manfaat anastesi yang diberikan
adalah untuk mengurangi rasa sakit, mencegah pengejanan maupun pengeluaran
kotoran yang mengganggu pelaksanaan pembilasan.
Cara Pemanenan :
1.
Stilette Cassou Insemination Gun dimasukkan ke
dalam kateter supaya menjadi kaku, selanjutnya kateter diberi pelumas.
2.
Dengan palpasi rectal, kateter dimasukkan
perlahan-lahan melewati vagina, cerviks, terus ke kornua uteri sampai 2/3
panjang kornua.
3.
Selanjutnya balon kateter diisi udara atau
air sebanyak 5 ml, kemudian stiletto gun ditarik. Pipa kaca berbentuk hurup Y
dipasang, dimana ujung-ujungnya telah terpasang selang penghubung.
4.
Larutan PBS dimasukkan tiap-tiap 30-60 ml
tergantung besar hewan sampai menghabiskan 500 ml setiap kornua.
5.
Hasil bilasan uterus ditampung dalam beker gelas
dan dibiarkan mengendap selama 30 menit, selanjutnya supernatannya dibuang dan
sisanya dievaluasi di bawah sterio mikroskop.
Gambar : Circular
method of uterin horn flushing (non surgical)
6.
Evaluasi embryo
Evaluasi embrio dilakukan di bawah
sterio mikroskop dengan pembesaran lebih dari 40 kali. Embrio yang didapat
harus mempunyai stadia yang relative sama; yaitu stadium morula (32 sel),
morula kompak (blastomer memadat menjadi masa yang lebih kompak), dan blastosis
awal (mempunyai blastosel). Adanya embrio yang stadium pertumbuhannya kurang
dari 32 sel menunjukkan adanya kelambatan pertumbuhan. Embrio yang didapat dari
media pembilas diambil menggunakan mikropipet, selanjutnya dimasukkan ke dalam
straw mini atau medium bening yang transparan.
Klasifikasi embrio yang didapat pada pembilasan
didasarkan pada penampilan umum morphologis dengan kriteria:
a.
Kualitas embrio A (sangat baik)
Stadium embrio sesuai dengan yang
diantisipasi (morula, blastosis dini ataublastosis) tidak cacat, bentuk bundar
spherical, ikatan blastomer erat dan kompak,bentuk simetris dan warna agak
gelap.
b.
Kualitas embrio B (baik)
Stadium perkembangan 16-32 sel,
tampak sedikit cacat seperti keluarnya salah satu blastomer dari ikatan dan
bentuk asimetris.
c.
Kualitas embrio C (cukup)
Stadium perkembangan agak retarded
satu sampai dua hari dari stadium yangdiantisipasi (8-16 sel), cacat, beberapa
blastomer keluar, ukuran blastomer tidak sama besar atau asimetris.
d.
Kualitas embrio D (jelek) dan tidak layak
ditransfer.
Embrio yang mengalami hambatan
perkembangan parah (2-8 sel), embrio mengalami degenerasi seluler,
ikatan-ikatan blastomer longgar sampai lepas atau ovum yang tidak terbuah
(Infertlized Ova).
Gambar: kualitas embrio
7.
Transfer Embrio ke Betina Resipien
Transfer embrio
segar maupun beku ke resipien dilakukan pada hari siklus birahi yang sama
dengan umur embrio (karena embrio dipanen pada umur 7 hari) maka siklus birahi
resipien yang dapat dipakai adalah 7 ± 1 hari setelah birahi atau birahi hewan
donor dan resipien minimal dalam 24 jam.
Pada umumnya
terdapat dua metode TE yang digunakan yaitu metode pembedahandan metode tanpa
pembedahan. Metode pembedahan dilakukan dengan jalanmembuatan sayatan di daerah
perut (Laparotomi) baik sayatan sisi (Flank Incici) atausayatan
pada garis tengah perut (Midle Incici). Metode tanpa pembedahan
dilakukan dengan memasukkan embrio kedalam straw kemudian ditransfer kedalam
uterus resipien dengan menggunakan Cassoue Gun Insemination.
Transfer dilakukan
langsusng ke kornua uteri kurang lebih 5-10 cm dari bifurkasio uteri. Resipien
yang tidak menunjukkan gejala birahi setelah 3 siklus birahi yang diharapkan
dapat dilakukan pemeriksaan kebuntingan per rectal untuk menentukan berhasil
tidaknya program transfer. Pemeliharaan resipien yang telah bunting sama
seperti pemeliharaan-pemeliharaan pada hewan bunting pada umumnya.
Gambar: Ilustrasi proses transfer
embiro pada sapi
III.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditulis dari
penulisan makalah ini yaitu Transfer embrio adalah suatu proses
dimana embrio dipindahkan dari seekor hewan betina yang bertindak sebagai donor
pada waktu embrio tersebut belum mengalami implantasi, kepada seekor betina
yang bertindak sebagai ppenerima sehingga resepien tersebut menjadi bunting.
Beberapa manfaat dari teknologi transfer embrio adalah untuk meningkatkan
populasi ternak unggul, lebih ekonomis, dan untuk memperoleh keturunan dari
induk yang kurang fertile.
Tahapan Transfer Embrio:
1.
Pemilihan Donor dan Resipien
2.
Superovulasi dan Induksi Estrus Pada Donor
3.
Sinkronisasi estrus
4.
Perkawinan pada Hewan Donor
5.
Koleksi Embryo dari Donor
6.
Evaluasi embryo
7.
Transfer Embrio (TE) ke
Resipien Betina
B. Saran
Adapun
saran yang dapat saya ajukan pada penulisan makalah ini adalah Dalam
setiap pelaksanaan transfer embrio hendaknya memperhatikan dan mengikuti setiap
tahapan yang ada, supaya keberhasilan dalam transfer embrio bisa dijamin dan
dipertanggung jawabkan, selain itu juga sebelum kita melakukan
Transfer embrio kita perluh memperhatikan tahap -tahap sebelum melakukan
transfer embrio yaitu inuksi super ovulasi, sinkronisasi estrus, pemanenan
embrio, klasifikasi embrio, penyiapan embrio dan kultur, kriopreservasi,
transfer Embrio..
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Kementrian Pertanian: Balai Embrio Ternak. Diambil dari
http://www.betcipelang.info/ hari Jumat, Jumat,
11 September 2015 pukul 17.30 wita.
Amstrong,
D.T. 1993. Recent advances in superovulation of cattle. Theriogenology 39: 7-24.
Ashworth,
C.J. 1992. Synchrony embryo-uterus. In:
Clinical Trends and Basic Research in Animal Reproduction. Elsevier.
AmsterdamLondon-New York-Tokyo. pp. 259-267.
Boland, M.P. and J.F. Roche. 1991.
Embryo production: Alternatives methods. International Trend of the Research on
Animal Embryo Transfer. pp. 2-13.
Bindon, B.M. and L.R . Piper. 1980. Assessment of
new and traditional techniques ofselection for lambing rate. In: G.J. Togs,
D.E. ROBERTSON and R. J . LIGHTFOOT (Ed) Sheep Breeding (2nd Ed.). p. 387- 401
.
Novalina, Hasugian. 2009. Transfer Embrio Balai Embrio Ternak Cipelang
Bogor. Diambil dari http://novalinahasugian.blogspot.com/
hari Jumat, 11 September 2015 pukul 17.30 wita.
Saputra, Junaidi 2012. Peningkatan Populasi dan
Mutu Genetik Sapi dengan Teknologi Transfer Embrio. https://www.scribd.com/doc/120394645/Makalah-Bioteknologi-Peternakan-Junaidi-p-Saputra. Diakses pada tanggal 12 April 2015.
Supriatna, I dan F.H. Pasarribu. 1992. In Vitro Fertilisasi,
Transfer Embrio dan Pembekuan Embrio. Depdikbud, DIKTI dan PAU IPB Bogor.
Tappa, B., E.M. Kaiin,
S. Said & M. Suwecha. 1994b. Response of dairy cows treated with
repeated superovulation and embryo recovery. Proceeding of 7th AAAP Animal
Science Congress. Bali. P. 19-20.
Toelihere, M.R. 1987. Ilmu Kebidanan pada Ternak
Sapi dan Kerbau. Universitas Indonesia. P. 40 – 44.